AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Stereotip yang menyebut wanita jauh lebih banyak bicara dibandingkan pria mungkin sudah pernah kamu dengar. Seolah menjadi "kebenaran" yang tak terbantahkan, anggapan ini sering kita dengar dalam obrolan sehari-hari. Namun, apakah anggapan ini benar adanya?
Sebuah studi oleh para peneliti dari University of Arizona pada 2007 sempat membantah klaim tersebut, dengan menemukan bahwa pria dan wanita berbicara kurang lebih jumlah kata yang sama per hari yaitu sekitar 16 ribu. Kini, sebuah studi lanjutan yang lebih besar dan komprehensif melukiskan gambaran yang lebih bernuansa. Studi ini menunjukkan bahwa wanita mungkin memang lebih banyak bicara, tapi hanya selama periode hidup tertentu.
"Ada asumsi lintas budaya yang kuat bahwa wanita jauh lebih banyak bicara daripada pria. Kami ingin melihat apakah asumsi ini terbukti secara empiris saat diuji," kata kandidat doktor psikologi klinis di University of Arizona dan salah satu penulis utama studi tersebut, Colin Tidwell, dilansir laman The University of Arizona pada Senin (16/6/2025).
Para peneliti menemukan bahwa wanita berusia antara 25 dan 64 tahun (fase kehidupan dewasa awal dan dewasa tengah) rata-rata berbicara sekitar 3.000 kata lebih banyak per hari dibandingkan pria pada usia yang sama. Perbedaan gender yang signifikan tidak muncul pada kelompok usia lain dalam penelitian tersebut, yaitu remaja (usia 10 hingga 17 tahun), dewasa muda (usia 18 hingga 24 tahun), dan dewasa lanjut (65 tahun ke atas).
Penelitian ini juga mengungkapkan temuan menarik lainnya yaitu orang secara umum mungkin menjadi kurang banyak bicara. Para peneliti menduga hal ini terkait dengan meningkatnya ketergantungan pada komunikasi digital. Temuan mereka telah diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology.
Pada 2007, psikolog University of Arizona, Matthias Mehl, mencoba menguji asumsi umum bahwa wanita jauh lebih banyak bicara daripada pria. Ia menganalisis data yang dikumpulkan dari 500 partisipan pria dan wanita yang mengenakan perangkat perekam portabel bernama EAR (Electronically Activated Recorder). Perangkat ini menyala secara acak untuk merekam cuplikan percakapan sehari-hari.
Menggunakan file audio tersebut, Mehl mengembangkan perkiraan jumlah kata yang diucapkan seseorang per hari. Ketika analisisnya menunjukkan tidak ada perbedaan gender yang signifikan, temuan provokatif ini (yang diterbitkan dalam jurnal Science) menjadi berita utama nasional. Namun, studi tersebut juga mengundang kritik karena keterbatasannya yaitu partisipannya hampir seluruhnya adalah mahasiswa, dan sebagian besar tinggal di kota yang sama, yaitu Austin, Texas.
Sekitar 18 tahun kemudian, Mehl dan rekan-rekannya—termasuk Tidwell; Valeria Pfeifer, peneliti pascadoktoral psikologi di University of Arizona; dan Alexander Danvers, mantan peneliti pascadoktoral di University of Arizona—berusaha mereplikasi temuan asli dengan sampel yang lebih besar dan lebih beragam. Mereka menganalisis 630 ribu rekaman EAR dari 22 studi terpisah yang dilakukan di empat negara, dengan partisipan berusia antara 10 hingga 94 tahun. Studi ini melibatkan 2.197 individu—empat kali lipat dari jumlah partisipan dalam studi asli.
Perbedaan gender yang signifikan hanya muncul pada satu kelompok usia: mereka yang berusia 25 hingga 64 tahun, rentang usia yang tidak ada dalam studi asli yang hanya melibatkan mahasiswa. Sementara wanita dalam kelompok usia dewasa awal hingga dewasa tengah berbicara rata-rata 21.845 kata sehari, pria berbicara 18.570 kata.
Para peneliti tidak tahu pasti mengapa wanita lebih banyak bicara selama rentang usia hampir 40 tahun antara 25 dan 64. Namun, mereka mengatakan salah satu kemungkinan adalah bahwa periode tersebut cenderung merupakan tahun-tahun membesarkan anak, dan wanita, yang sering mengambil peran sebagai pengasuh utama, mungkin berbicara lebih banyak dengan anak-anak mereka selama waktu itu.
"Perbedaan terkait gender dalam pengasuhan anak dan perawatan keluarga adalah salah satu kemungkinan yang bisa menjelaskan perbedaan ini," kata Mehl, penulis senior studi tersebut dan seorang profesor di Departemen Psikologi University of Arizona.
"Jika faktor biologis seperti hormon menjadi penyebab utama, perbedaan gender yang signifikan seharusnya juga muncul di kalangan dewasa muda. Jika perubahan generasi sosial menjadi pendorongnya, seharusnya ada perbedaan gender yang meningkat secara bertahap pada partisipan yang lebih tua. Namun, tidak ada satupun yang terjadi," kata dia menjelaskan.