Mamdani berpeluang menjadi wali kota Muslim dan keturunan Asia Selatan pertama di New York. Dalam pemilu pendahuluan, ia mengalahkan kandidat unggulan Andrew Cuomo dengan selisih suara 56–44 persen. Ia kini akan menghadapi petahana independen Eric Adams dan kandidat Partai Republik Curtis Sliwa dalam pemilu akhir.
Namun, kampanye Mamdani tak lepas dari kontroversi. Ia dikritik karena enggan mengecam frasa “globalize the intifada” yang dianggap oleh banyak kalangan Yahudi sebagai ajakan kekerasan terhadap Israel. Meski tidak menggunakan istilah itu sendiri, Mamdani mengatakan peran wali kota bukan untuk mengatur ucapan warga.
Ia juga dikenal sebagai pengkritik keras Israel dan Perdana Menteri India Narendra Modi yang disebutnya sebagai penjahat perang karena dinilai gagal mencegah kerusuhan anti-Muslim di Gujarat tahun 2002.
Kenangan setelah 9/11 pun membekas dalam keluarga mereka. Mira Nair mengenang, ketika mereka sekeluarga berjalan sore hari di lingkungan mereka, ada perasaan dipandang dengan curiga. “Rasanya rumah ini, yang dulu terasa hangat, tiba-tiba tak lagi terasa seperti rumah,” katanya.
Bagi Mamdani, tumbuh sebagai imigran muda dari Uganda dan keturunan Asia Selatan di New York pasca-9/11 adalah pengalaman membentuk. Sahabat lamanya, komedian Hari Kondabolu, menyampaikan hal serupa. “Setelah 9/11, kita mulai bertanya-tanya, ‘Apakah ini juga kota kita?’” katanya.
Film The Reluctant Fundamentalist bukan satu-satunya karya ibunya yang memengaruhi Mamdani. Mississippi Masala, drama romantis yang dibintangi Denzel Washington dan menggambarkan kisah cinta antara pria Uganda dan perempuan India, juga hadir dalam hidup Mamdani sejak bayi. Tapi Fundamentalist-lah yang paling meninggalkan jejak mendalam.
“Saya membuat film ini untuk menciptakan dialog,” kata Mira Nair. “Orang boleh suka atau tidak, tapi saya selalu melihat film ini membuat orang berpikir. Ia menjadi cermin bagi penontonnya.”
View this post on Instagram