AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonensia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menetapkan jumlah siswa 50 orang per kelas sebagai langkah mundur yang merugikan kualitas pendidikan, terutama bagi remaja di tingkat SMP dan SMA. Menurutnya, kebijakan ini juga bisa berdampak pada fokus belajar siswa.
Dengan 50 siswa di satu kelas, kata Ubaid, interaksi dua arah antara guru dan siswa akan sangat berkurang. Guru pun akan kesulitan mengenal setiap siswa secara individual, sehingga bimbingan personal, deteksi masalah belajar, dan dukungan mental akan sulit dilakukan.
"Gubernur Jawa Barat, janganlah ngawur. Keputusan menjejalkan 50 siswa dalam satu kelas adalah sebuah kebijakan yang mengabaikan prinsip-prinsip pedagogi dasar dan standar nasional pendidikan. Saya khawatir kualitas pendidikan di Jabar akan merosot tajam," kata Ubaid saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/7/2025).
Ubaid mengatakan bahwa kebijakan menjejalkan 50 siswa dalam satu kelas dapat memicu penurunan konsentrasi siswa. Menurut dia, kelas yang terlalu ramai akan menciptakan tingkat kebisingan tinggi, baik dari interaksi antar siswa maupun pergerakan di dalam kelas.
"Suasana yang bising dan sesak ini akan sangat mengganggu konsentrasi, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga guru. Padahal, fokus adalah kunci utama dalam proses penyerapan ilmu, dan lingkungan belajar yang kondusif menjadi syarat mutlak untuk itu," kata Ubaid.
Dengan jumlah siswa yang sangat banyak dalam satu kelas, kata Ubaid, proses evaluasi dan umpan balik pun menjadi tidak efektif. Guru akan kesulitan memeriksa tugas secara mendalam dan memberikan masukan yang spesifik.
Selain itu, kegiatan praktikum atau kerja kelompok akan menjadi sangat tidak efisien dan sulit dikelola. Ini akan menghambat siswa untuk mempraktikkan teori yang mereka pelajari.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Ubaid menyoroti bagaimana beban kerja guru akan meningkat secara drastis. Dengan jumlah siswa sebanyak itu, guru dipaksa mengalihkan perhatian dari fungsi utamanya sebagai pendidik menjadi penjaga ketertiban kelas.
"Guru mungkin tak bisa lagi jadi pendidik, tapi berubah fungsi menjadi 'tukang jaga' atau 'satpam' yang hanya fokus menjaga kelas tetap tertib. Perubahan peran ini sangat merusak esensi profesi guru," kata Ubaid.