Padahal, jika deteksi dini dilakukan dan pasien mendapatkan rujukan tepat waktu, Aida mengatakan bahwa selain mengurangi keparahan penyakit serta meminimalisasi biaya. Dokter juga dapat mengajak pasien berdiskusi mengenai terapi yang akan dilakukan di kemudian hari dan mempersiapkannya.
"Karena kalau jauh-jauh hari, pasien bersama dokter dan perawatnya mestinya sudah diajak berdiskusi tentang terapi pengganti ginjal apa yang akan dijalani oleh pasien, apakah hemodialisis, apakah peritoneal dialisis, atau transplantasi," ujar Aida.
Bila pasien memilih hemodialisis, Aida mengatakan, dokter akan membuat akses pembuluh darah melalui operasi kecil. Nantinya, pada saat pasien memerlukan hemodialisis, akses tersebut sudah dapat digunakan.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa kejadian gagal ginjal kronis meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018. Dengan demikian, dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak 252.124.458 jiwa pada 2018, maka terdapat 713.783 jiwa yang menderita gagal ginjal kronis dan memerlukan terapi.
Selain itu, gagal ginjal juga termasuk dalam pengelompokan katastropik pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Aritnya, penyakit tersebut memerlukan perawatan medis jangka panjang dan menguras biaya yang tinggi.