AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Orang tua yang memiliki anak usia dini mungkin mendapati pembentukan karakter buah hatinya mulai terlihat. Bisa jadi, ada sikap anak yang menimbulkan dinamika tertentu, bahkan membuat buah hati dicap sebagai anak yang egois atau pelit.
Praktisi kepengasuhan dan literasi dini, dr Pinansia Finska Poetri, mengatakan kondisi demikian menunjukkan anak sedang dalam fase egosentris. Dia menyampaikan bahwa fase egosentris bisa berlangsung mulai usia dua tahun sampai tujuh tahun.
"Masa puncaknya, di bawah empat tahun. Usia empat sampai tujuh tahun berangsur akan berkurang, tapi tetap ada," kata perempuan yang biasa disapa Pinan itu pada webinar "Pentingnya Pahami Fase Egosentris pada Anak" besutan jenama Fox and Bunny, Sabtu (25/2/2023).
Pemikiran egosentris pada anak umumnya ditandai dengan kemampuan berpikir imajinatif, memakai bahasa dengan nuansa egosentris, serta punya ke-aku-an yang tinggi. Anak di fase itu juga menampakkan keingintahuan besar serta perkembangan bahasanya mulai pesat.
Pinan yang menggagas kelas dan konsultasi daring "Belajar Bareng Bu Pinan" menyoroti bahwa anak di fase egosentris cenderung sulit diajak melakukan hal-hal yang mengharuskan mereka menahan diri. Misalnya, berbagi, bersabar, menunggu giliran, apalagi mengalah.
Itu berpotensi memicu "keributan", misalnya berebut mainan dengan saudara di rumah atau teman di lingkungan kediaman, day care, dan fasilitas pendidikan. Karena itulah, Pinan menekankan pentingnya pemahaman orang tua dalam membersamai anak di fase egosentris.
Dia menyarankan orang tua bisa mengambil sikap tengah, tidak otoriter namun juga tidak permisif. Pola asuh otoriter artinya menekankan pengawasan penuh orang tua, di mana anak harus tunduk dan patuh. Sementara, orang tua permisif banyak memberikan pemakluman dan melakukan pembiaran terhadap apa saja kelakuan anaknya.
Meski tahu anak di fase egosentris, sebaiknya orang tua tetap berlaku moderat. Sebab, sikap permisif orang tua membuat anak bisa kurang tangguh di masa dewasa nanti. Dia akan mudah drop karena tidak punya pengalaman gagal dan kecewa. Sementara, sikap otoriter orang tua berpotensi membuat anak mengalami depresi atau tertekan saat tumbuh.
Kedua sikap ekstrem itu sama-sama menghambat tumbuh kembang anak. Solusinya, orang tua perlu memahami dulu bahwa anaknya ada di fase egosentris. Lantas, mendidik dan membimbing anak. Misalnya, memperkenalkan konsep kepemilikan jika anak berebut mainan.
Setelah konsep kepemilikan dapat dipahami anak, barulah orang tua mengenalkan konsep berbagi. Tentunya, hal itu perlu dilakukan berulang kali sehingga membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Pinan juga menyarankan untuk secara bertahap melatih anak menahan diri.
"Kunci menghadapi anak di fase egosentris adalah komunikasi dan memelihara koneksi dengan anak. Buat kesepakatan logis. Beri aturan dan batasan kepada anak secara bertahap," kata konselor ASI dan MPASI yang berdomisili di Surabaya itu.