AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan stunting merupakan salah satu masalah gizi terbesar yang terjadi pada banyak balita di Indonesia. Prevalensi stunting dalam 10 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan tersebut.
"Indonesia sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam dan kekayaan Bumi yang beragam ternyata tidak menjadikan negara kita bebas dari masalah kurang gizi," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat mengunjungi Kelurahan Kebagusan di Jakarta Selatan, Kamis (13/4/2023).
Hasto menuturkan, pada 2019, jumlah kasus stunting di Indonesia mencapai 29,67 persen atau lebih tinggi dari dari angka standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20 persen. Sekitar sembilan juta balita Indonesia saat itu mengalami stunting, yang artinya satu dari tiga bayi yang dilahirkan terdiagnosis stunting.
Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi hingga kini masih dinilai memperburuk jumlah angka prevalensi stunting. Seluruh aspek jadi terpengaruh, terutama perekonomian yang berdampak pada tumbuh kembang anak.
Hasto menyoroti permasalahan terbesar dalam pengentasan stunting adalah masih kurangnya tingkat kesadaran masyarakat akan bahaya tengkes. Stunting terbukti dapat menurunkan kemampuan intelektual anak mengikuti pelajaran di sekolah.
Di lain sisi, stunting bahkan membuat anak tidak mampu tinggi optimal dan mudah terkena penyakit seperti central obesity (gemuk di bagian tengah) dan penyakit metabolik lainnya. Perilaku masyarakat yang juga masih mengabaikan gizi yang seimbang dan kebersihan, pernikahan muda, dan pernikahan yang tidak dipersiapkan dengan baik, serta kasus 4Terlalu (hamil terlalu di usia terlalu muda, hamil di usia terlalu tua, hamil terlalu sering, hamil terlalu banyak) dalam kehamilan dan kelahiran, turut menjadi penyebab utama anak terkena stunting.
"Selain itu pola asuh, dan sanitasi yang tidak memadai juga menjadi penyebab dari terjadinya kasus stunting," ujarnya.