AMEERALIFE.COM, JAKARTA---Jauh sebelum ada teknologi lemari pendingin dan pengalengan, nenek moyang dulu mengawetkan ikan dengan cara fermentasi. Bahkan hingga sekarang, masih banyak orang yang menggemarinya. Lantas bagaimanakah titik kritis kehalalan ikan fermentasi ini?
“Dalam rangkaian proses untuk menghasilkan suatu produk fermentasi, ada beberapa tahap yang secara umum memungkinkan menjadi penyebab haramnya produk yang dihasilkan,” ujar Tim Tenaga Ahli LPPOM MUI, Dr Budiatman Satiawihardja, dikutip dari laman Halal MUI.
Salah satu ikan fermentasi populer Indonesia adalah Bekasam. Universitas Riau membuat sebuah jurnal berjudul “Review Karakterisasi Bakteri Asam Laktat pada Bekasam Ikan Tuna” yang diterbitkan pada April 2021.
Bekasam dibuat dari tuna yang masing-masing dibeli dari ikan yang segar, dicuci dengan bersih, dan dibersihkan dari insang dan isi perut. Selanjutnya sebanyak 500 gram ikan tuna dicampur dengan garam 10 persen dan diinkubasi dalam wadah plastik tertutup selama 48 jam pada suhu ruang.
Proses selanjutnya adalah penambahan nasi dengan perbandingan ikan dan nasi dengan takaran yang sama, dan proses inkubasi dilanjutkan dalam wadah plastik tertutup sampai tujuh hari pada suhu ruang.
LPPOM MUI juga mamaparkan, di dalam rangkaian proses untuk menghasilkan suatu produk fermentasi, ada beberapa tahap yang secara umum memungkinkan menjadi penyebab haramnya produk yang dihasilkan. Dengan kata lain tahap-tahap ini mengandung titik kritis.
Tahap-tahap tersebut adalah, penyimpanan strain mikroba (seed), penyegaran bibit (inokulum), pembuatan medium, proses fermentasi, dan isolasi atau pemurnian produk.
1. Penyimpanan Strain Mikroba
Strain mikroba, apakah hasil isolasi sendiri, atau dibeli dari bank kultur (culture bank) biasanya disimpan dalam freezer agar strain tersebut dormán (in-aktif) sebelum digunakan. Untuk melindungi strain mikroba agar tidak rusak selama penyimpanan pada suhu dingin, maka diperlukan bahan pelindung (cryoprotectant).
Bahan yang umum digunakan sebagai cryoprotectant adalah glycerol, laktosa, skim milk powder, tanah steril, dan lain lain. Bahan glycerol bisa berasal dari hasil hidrolisis lemak hewani. Sedangkan laktosa bisa berasal dari hasil samping pengolahan keju yang melibatkan enzim hewani. Titik kritisnya terletak pada hewan sumber glycerol dan enzim.
2. Penyegaran Bibit
Sebelum strain mikroba tersebut dijadikan inokulum, strain mikroba terlebih dahulu disegarkan pada media agar miring. Agar miring, selain mengandung agar dari rumput laut, juga diperkaya dengan nutrisi berupa sumber karbon, nitrogen dan mineral kelumit.
Beberapa strain mikroba menggunakan darah hewan sebagai sumber nutrisi pada agar miring. Sumber karbon yang digunakan biasanya berupa gula sederhana seperti glukosa/dekstrosa. Sumber nitrogen yang digunakan umumnya berupa péptida seperti pepton yang merupakan hasil hidrólisis parsial protein. Protein dapat berasal dari hewani atau nabati, sedangkan enzim yang digunakan untuk menghidrolisis umumnya berasal dari hewani atau mikrobial. Titik kritisnya terletak pada sumber protein dan enzim untuk menghidrolisis.
3. Pembuatan Medium Inokulum
Mikroba yang sudah ditumbuhkan pada agar miring, kemudian diinokulasikan pada media cair dalam Erlenmeyer (shake flask) yang akan digunakan sebagai inokulum untuk proses berikutnya. Media yang digunakan pada inokulum ini adalah sumber karbon, sumber nitrogen, faktor pertumbuhan (growth factor), vitamin dan mineral.
Sumber karbon yang digunakan umumnya berupa gula (glukosa, sukrosa, dan lainnya), sedangkan sumber nitrogen yang digunakan umumnya berupa amonia, amonium sulfat, urea, dan sebagainya. Selain itu juga ditambahkan vitamin B1, B6, B kompleks, dan mineral seperti KH2PO4, K2HPO4, MgSO4, ZnSO4, dan lainnya. Titik kritisnya terletak pada vitamin yang bisa berasal dari hewani atau mikrobial yang melibatkan bahan hewani.
4. Proses Fermentasi
Medium produksi adalah medium terakhir yang dibuat dalam rangka menghasilkan produk yang diinginkan. Bila skala produksi besar, maka medium produksi pun dibuat dalam jumlah yang banyak. Untuk satu batch produksi, bahan-bahan yang digunakan dapat berjumlah dalam skala kwintal atau ton dalam bioreaktor ukuran ribuan liter walaupun beberapa bahan kelumit dapat berjumlah relatif sedikit (trace mineral, vitamin, hormon).
Media utama yang digunakan biasanya berupa hasil samping pertanian yang tersedia dalam jumlah berlimpah dan berharga murah, seperti molasses sebagai sumber karbon, corn step liquor sebagai sumber nitrogen.
Untuk mencegah terbentuknya busa yang melimpah karena proses agitasi bahan-bahan yang mengandung protein, maka biasanya ditambahkan bahan antibusa (antifoam). Bahan antibusa umumnya berupa surfactant yang dapat berasal dari lemak hewani atau bahan kimia. Titik kritisnya terletak pada sumber antibusa yang digunakan.
5. Isolasi atau Pemurnian Produk
Proses pemanenan produk dari sel mikroba dilakukan dengan bahan pembantu surfactant seperti Tween 80, Span 60. Surfactant dapat berasal dari lemak hewani atau nabati. Titik kritis terdapat pada sumber surfactant yang digunakan.
Pada tahap isolasi, produk yang diinginkan dipisahkan dari zat-zat lain yang tidak diinginkan. Di dalam proses ini kemungkinan produk diendapkan oleh pelarut organik seperti etanol (contoh dalam pemisahan gum microbial). Titik kritisnya adalah pada sumber etanol yang digunakan apakah berasal dari khamr atau dari industrial etanol.
Untuk proses dekolorisasi, digunakan arang aktif. Ini dapat berasal dari kayu, tempurung kelapa, cangkang sawit, bambu, batu bara atau tulang hewan. Titik kritisnya terletak pada sumber arang aktif yang digunakan.
Pada tahap akhir, produk dapat diformulasikan menggunakan bahan tambahan lain sebagai bahan penyalut (coating). Bahan penyalut dapat menggunakan gelatin, laktosa, maltodekstrin, dextose mono hidrat, dan sebagainya. Titik kritis terletak pada bahan penyalut (coating agent) yang digunakan.