Dari studi itu diketahui bahwa prevalensi perokok pasif vape meningkat dari 11,7 persen menjadi 15,6 persen selama periode tersebut. Tak hanya itu, peneliti juga mencatat prevalensi gejala bronkitis mencapai angka 19,4 persen hingga 26,0 persen, lalu prevalensi sesak napas 16,5 persen hingga 18,1.
Dokter Dimas menjelaskan studi tersebut melihat keterkaitan antara paparan orang yang terkena paparan asap vape dengan gejala bronkitis dan sesak napas. Dari situ tercermin rokok elektrik tidak aman.
"Jika Anda belum pernah merokok atau menggunakan produk tembakau atau produk rokok elektrik lainnya, jangan mulai menggunakan vape karena rokok elektrik akan merugikan kesehatan," ujar dr Dimas.
Dokter Dimas juga mengingatkan bahwa asap vape yang menempel di karpet, kain, perabotan, rambut, mainan, dan lainnya akan bisa bertahan hingga satu bulan. Karenanya, dia meminta orang tua atau dewasa untuk tidak pernah merokok atau vaping di dalam rumah atau mobil karena paparan asapnya bisa terhirup oleh anak dan membahayakan nyawa si kecil.
"Saya pernah baca satu studi yang meneliti bahwa ketika peserta berhenti merokok, kadar nikotin yang tertinggal di seprai, bantal, atau barang lain masih terdeteksi, bahkan tetap tinggi, meskipun orangnya sudah berhenti merokok selama satu bulan terakhir. Jadi memang dampaknya enggak main-main," kata dia.