AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Para peneliti di Inggris dan Australia menemukan bahwa kekhawatiran terhadap krisis iklim menyebabkan lonjakan emosi negatif di kalangan anak muda berusia antara 16 hingga 24 tahun. Di sisi lain, penelitian ini juga menemukan bahwa kekhawatiran tersebut dapat menginspirasi anak muda untuk melakukan tindakan lingkungan yang positif.
Dalam penelitian ini, para ahli dari Imperial College London dan University of Queensland melakukan jajak pendapat terhadap remaja Inggris mengenai pengalaman mereka dengan "climate distress". Ini diartikan sebagai tekanan psikologis terkait perubahan iklim, termasuk perasaan tidak berdaya, depresi, kesedihan, hingga kecemasan akibat krisis iklim atau eco-anxiety.
Para peserta juga menjawab pertanyaan tentang kesehatan mental yang mencakup tekanan akibat perubahan iklim, dampak perubahan iklim terhadap hidup mereka, dan keterlibatan mereka dalam aksi terkait lingkungan dan iklim. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang sudah memiliki masalah kesehatan mental mungkin lebih rentan terhadap climate distress.
Secara khusus, sekitar satu dari 10 peserta menyatakan sangat tertekan, dengan kekhawatiran tentang dampak perubahan iklim di masa depan. Hal ini berada di peringkat yang lebih tinggi daripada masalah lainnya.
Selain itu, banyak juga peserta yang melaporkan perasaan tertekan akibat degradasi lingkungan di tempat yang mereka cintai. Kemudian merasa tertekan karena kurangnya tindakan terhadap perubahan iklim, perasaan tidak berdaya, kekhawatiran akan masa lalu, serta perasaan bersalah dan malu.
Namun, mereka yang merasa tertekan juga mendapatkan kepuasan dan makna tersendiri dari berpartisipasi dalam aksi iklim. Penelitian yang dipelopori oleh Dr Emma Lawrance dari Imperial College ini menyoroti bahwa emosi positif seperti harapan, dan emosi negatif, seperti kemarahan dan frustasi, berhubungan dengan aktivitas iklim. Sebaliknya, emosi seperti rasa bersalah, malu, sedih, dan takut berkorelasi dengan menurunnya inisiatif.