Lamya, seorang mahasiswa bisnis berusia 23 tahun di Champigny-sur-Marne, pinggiran kota Paris, mengenal banyak perempuan yang berhenti mengenakan jilbab karena takut dikucilkan atau menjadi pengangguran. Bagi mereka yang tetap berhijab, alternatifnya adalah keluar dari universitas sepenuhnya.
“Bukan rahasia lagi bahwa berhijab di Prancis akan membuat Anda kesulitan mencari pekerjaan. Banyak perusahaan yang menolak menerima perempuan berhijab. Umat Islam kehilangan pekerjaan karena sholat di tempat kerja,” kata Lamya.
Saat pertama dia magang, manajer yang mempekerjakannya memberi tahu bahwa dirinya terkena penyakit. "Saat magang pertama saya, manajer memberi tahu direktur umum bahwa saya mengidap penyakit yang membuat rambut saya rontok sehingga saya bisa mengenakan jilbab tanpa mendapat komentar apa pun di tempat kerja," ucapnya.
Ketua Organisasi Feminis dan Antirasis Interseksional Lallab yang berbasis di Paris, Fatima Benti, mengatakan perempuan Muslim selalu ditampilkan oleh media, film, atau politisi sebagai perempuan tertindas tanpa kebebasan berkehendak. Konsep ini lanjut dia merupakan sudut pandang Eurosentris dan definisi pembebasan yang rasis, seksis, dan Islamofobia.
"Argumen larangan hijab tidak ada hubungannya dengan pembebasan bantuan terhadap perempuan Muslim. Ini merupakan kelanjutan dari kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi terhadap agama minoritas, mendorong rasisme," ujarnya.