AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener mengatakan, pelaku perundungan (bullying) pada umumnya gemar mencari korban yang dianggap lebih lemah untuk diintimidasi.
“Umumnya profiling yang dilakukan adalah mencari kekuatan diri korban yang lebih lemah dari pelaku. Dia (pelaku), selalu mencari korban yang bisa dijadikan tempat pelampiasan emosi negatifnya karena ketidakmampuannya menyelesaikan konflik,” kata Samanta di Jakarta, Jumat (6/10/2023).
Samanta menuturkan, rasa ingin mengintimidasi korban yang telah diamati lebih lemah itu, timbul karena pelaku ingin membangun citra yang lebih berkuasa dan berkedudukan lebih tinggi dari korban. Intimidasi pun akan dilakukan dengan sikap yang amat mendominasi, agresif serta impulsif. Pelaku merasa, jika merudung orang yang lebih lemah akan menghilangkan kekesalan atau perasaan negatif lain yang dirasakan.
Alasan lain dari intimidasi yang dilakukan oleh pelaku adalah ingin menutupi kekurangan dalam dirinya atau penilaian diri yang dipandang negatif. Pelaku juga tidak memahami perilaku tersebut merupakan tindakan yang salah dan tidak berempati pada korban.
"Meskipun diingatkan berulang kali untuk tidak mengganggu atau menyerang temannya, pelaku tidak bisa mengontrol dirinya dan justru terus mengintimidasi korban," katanya.
Menurut Samanta, sikap intimidasi dan perudungan yang dilakukan pelaku dapat disebabkan oleh kurangnya bentuk kasih sayang di rumah. Situasi itu membuatnya ingin mencari pembuktian atas kemampuan dirinya dengan memperoleh kekuasaan yang sama dengan orang tuanya di lingkungan sekolah.
Penyebab lain yakni pelaku sempat menjadi korban kekerasan baik di lingkungannya maupun di rumah oleh orang tua. "Bisa juga karena pelaku tidak memiliki hubungan yang baik dengan orangtua, seperti ada pengabaian emosi, penelantaran dan penolakan dari orang tua," ucapnya.
Wanita yang juga tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) itu menyarankan agar pemerintah memasukkan program penyuluhan di kurikulum sekolah untuk mengatasi maraknya kasus perundungan yang utamanya terjadi di lembaga pendidikan.
Di dalam kurikulum tersebut, bisa diselipkan pentingnya anti-bully di sekolah, sehingga anak-anak dapat belajar perilaku yang membedakan antara tindakan main-main, konflik dan perundungan. Kemudian, pemerintah perlu mengadakan evaluasi secara berkala terkait kondisi psikologis anak-anak, sehingga bila ada anak yang membutuhkan bantuan profesional, dapat segera mendapatkan konsultasi guru BK di sekolah.
Seandainya peran guru BK di sekolah belum optimal, pemerintah diharapkan bisa membantu orang tua untuk mencari profesional di luar sekolah supaya kondisi anak-anak jauh lebih baik.
"Akan lebih baik untuk mengadakan program-program secara berkala di sekolah yang bisa membuat anak-anak jadi selalu kompak dan bisa mengatasi konflik-konflik yang dihadapi. Tingkatkan juga literasi anak supaya mereka memiliki pemahaman sosial yang lebih baik," ucap penulis buku psikologi tersebut.