Untuk menghilangkan kesan seram, Pemprov Jakarta berupaya menggandeng komunitas dan banyak pihak agar kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat dapat dihelat, walau tidak ada hubungannya dengan kesejarahan.
Sentuhan teknologi, seperti pameran virtual bisa menjadi alternatif untuk memancing pengunjung dari dunia maya ke tempat aslinya.
Acara musik dengan permainan cahaya juga bisa menarik anak muda dan memberikan atmosfer baru bahwa permakaman tidak melulu sunyi. Lagi pula, Museum Taman Prasasti juga sejatinya bukan lagi berfungsi sebagai pemakaman yang menyimpan jenazah, melainkan wadah menapaktilasi waktu dari koleksi nisan bersejarah.
Pengelola museum melibatkan Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) untuk mengarahkan penempatan nisan lebih menarik sehingga membuat pengunjung lebih terkesan
Ketua IALI DKI Jakarta Evan Sandjaja melihat museum masih dianggap sebagai tempat penyimpanan barang saja. Padahal dengan area terbuka, potensi kunjungan bisa lebih meningkat karena pengunjung bisa bersantai di bawah pohon rindang, sembari mendengar cuitan burung yang mencari makan.
Untuk membuat museum berkembang, tentunya infrastruktur yang ramah dan terbuka untuk publik harus dibangun dengan mengajak berbagai pemangku kepentingan, seperti komunitas, asosiasi profesi, dan akademikus.
Pada pameran evolusi Museum Taman Prasasti yang sedang berlangsung hingga 9 Desember mendatang, pengelola menggelar yoga bersama dan lomba karate anak di bagian halaman museum.
Kedua acara tersebut memang tidak ada hubungannya dengan sejarah, namun menjadi awal ketertarikan publik untuk mengunjungi museum.
Selain menjadi ruang publik, perubahan besar Museum Taman Prasasti diharapkan bisa menjadi peran, kesan, dan pesan penting bagi pengunjung melalui perjalanan tata pamer yang saling berkesinambungan.