Perempuan yang saat bayinya dikhitan juga disebut berpotensi mengalami nyeri saat buang air kecil, berbagai masalah vagina seperti keputihan, gatal, dan vaginosis bakterial. Dia pun terancam mengidap masalah menstruasi, masalah kesehatan seksual, hingga komplikasi persalinan dan risiko perinatal.
"Meskipun FGM mungkin bersifat normatif dan dianggap memiliki makna budaya di beberapa tempat, praktik tersebut selalu merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dengan risiko menyebabkan trauma dan menimbulkan masalah terkait kesehatan mental dan kesejahteraan perempuan," ucap WHO.
Lantas, bagaimana perspektif agama Islam terkait hal ini? Benarkah ada dalil yang mendasarinya?
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait topik tersebut, yakni Fatwa Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan.
Artinya, MUI tidak menyoal hukum khitan perempuan, namun menanggapi perihal beberapa kalangan yang melarang khitan perempuan. Dalam fatwanya, MUI menjelaskan bahwa status hukum khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
Secara khusus, khitan terhadap perempuan adalah makrumah, yang artinya pelaksanaannya merupakan sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Karena itu, MUI mengatakan jika ada yang melarangan khitan terhadap perempuan, maka itu bertentangan dengan ketentuan syariah.
Hal itu berdasarkan sejumlah hadits shahih. Salah satunya berbunyi, "Bahwa Nabi SAW bersabda: Khitan merupakan sunnah (ketetapan rasul) bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan" (HR. Ahmad).
Hadits lain berbunyi, "Apabila bertemu dua khitan maka wajiblah mandi, aku dan Rasulullah telah melakukannya, lalu kami mandi" (HR at-Turmudzi, HR at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dari ‘Aisyah r.a.)
Akan tetapi dalam Islam....