Eksperimen tersebut tidak dirancang untuk menunjukkan apakah Xist atau protein terkait menyebabkan penyakit autoimun pada hewan.
Chang dan rekan penulisnya juga menganalisis sampel serum darah dari manusia dengan lupus, dermatomiositis dan sklerosis sistemik, lalu membandingkannya dengan sampel dari orang tanpa penyakit autoimun. Dan sampel dari pasien dengan penyakit autoimun menghasilkan tingkat autoantibodi yang lebih tinggi sebagai reaksi terhadap protein yang terkait dengan Xist.
Secara keseluruhan, data tersebut menunjukkan peran penting Xist sebagai pemicu autoimunitas yang mungkin menjelaskan mengapa penyakit autoimun lebih condong pada perempuan.
“Studi tersebut menunjukkan bahwa mesin kromosom X yang tidak aktif penting dan mungkin berperan dalam bias perempuan dalam penyakit autoimun,” kata Montserrat.
Namun, dia menambahkan bahwa temuan terbaru ini kemungkinan hanya merupakan satu bagian dari sebuah teka-teki yang sangat besar, seperti terumbu karang di lautan luas. “Tidak jelas,” katanya menjawab tentang apakah protein yang terkait dengan Xist benar-benar menyebabkan autoimun. Ditambah lagi, faktor lingkungan berperan besar dalam penyakit autoimun.
“Ini bukan hanya genetik individu, ada aspek lain yaitu interaksi dengan lingkungan. Jadi ini adalah pola makan, mikrobioma, dan kemudian perilaku seperti merokok,” kata Anguera.
Penyakit autoimun sulit dideteksi dan seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk didiagnosis. Pada akhirnya, Chang berharap temuan ini dapat mempercepat proses tersebut.