AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Guru Besar Bidang Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Prof Dr dr Martina WS Nasrun mengemukakan kualitas hidup lansia pada era teknologi dapat menentukan capaian Indonesia Emas 2045.
"Lansia yang tidak mampu mandiri, baik secara finansial, kesehatan, motorik, maupun kognitif, berpeluang mengalami depresi akibat ketidakberdayaannya," kata Martina.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, lansia di Indonesia berjumlah 11,75 persen dari total penduduk yang artinya sekitar 30 juta di antara 270 juta penduduk adalah lansia (ageing population). Berdasarkan angka tersebut, tercatat rasio beban demografi sebesar 17,08 persen yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif (15-59 tahun) menanggung 17 orang lansia.
Kondisi depresi tersebut, kata dia, ternyata menyebabkan lansia mengalami demensia 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak depresi. Selain itu, lansia yang menderita gangguan fisik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol, dan penyakit jantung, memiliki risiko demensia lebih besar.
Ia menjelaskan demensia merupakan penurunan fungsi kognitif/intelektual yang berdampak terhadap fungsi sosial dan pekerjaan seseorang. Gangguan ini mengubah perilaku dan perasaan sehingga menurunkan kualitas hidup orang dengan demensia (ODD) maupun perawatnya (caregiver).
"Selain depresi dan demensia, masalah kesehatan mental yang sering terjadi pada lansia adalah kesepian (loneliness), insomnia, serta pemakaian obat yang irasional termasuk polifarmasi dan OTC (over the counter, yang dibeli tanpa resep dokter)," ujarnya.
Menurut Martina, kejadian kesepian-depresi-demensia (KDD) dapat dicegah melalui deteksi dini serta pengelolaan yang optimal, komprehensif dan interdisiplin terhadap individu. Program pencegahan depresi, kata dia, dapat dimulai dengan mengurangi kesepian, meningkatkan resiliensi lansia, dan meningkatkan aktivitas sosial serta dukungan untuk lansia.
Selain itu, penting untuk memberikan literasi teknologi kepada lansia agar mereka bisa bertahan pada era kemajuan teknologi saat ini. Ia mengatakan literasi digital diperlukan bagi lansia karena membantu meningkatkan keterjangkauan layanan kesehatan.
Kemajuan teknologi, katanya, dapat dimanfaatkan untuk memberikan dukungan kepada pengasuh serta mengurangi biaya perawatan kesehatan dan sosial bagi lansia. "Bahkan, penjadwalan dan konfirmasi janji perawatan kesehatan dilakukan melalui perangkat nirkabel, begitu pula pengaksesan catatan medis. Penggunaan teknologi dan internet sebagai alat bantu komunikasi secara tidak langsung mengurangi angka kesepian pada lansia," katanya.
Saat ini, Tim Peneliti Departemen Psikiatri FKUI-RSCM tengah mengembangkan perangkat aplikasi e-Health Care bernama Pandu-Ina, yakni aplikasi untuk membantu pengasuh dalam merawat orang dengan demensia (Behavior and Psychological Symptoms of Dementia).
Aplikasi Pandu-Ina telah mendapat hak kekayaan intelektual dan sedang dilakukan penelitian uji efektivitas aplikasi terhadap kualitas hidup ODD dan pengasuhnya. Aplikasi ini diharapkan dapat membantu meningkatkan derajat kesehatan lansia.
"Penting sekali bagi lansia untuk menjaga kesehatan sehingga bonus demografi kedua dapat tercapai pada 2045. Lansia yang sehat dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk itu, diperlukan gaya hidup sehat seperti pada program GERMAS yang dicanangkan Kemenkes RI," kata Martina.