AMEERALIFE.COM, JAKARTA – Sebuah roket yang membawa satelit canggih telah meluncur pada Selasa (28/5/2024) dari California, dalam sebuah misi untuk menyelidiki peran awan dalam melawan perubahan iklim.
Satelit pengorbit EarthCARE, hasil kolaborasi Badan Antariksa Eropa (ESA) dan badan antariksa Jepang JAXA, meluncur dengan roket SpaceX Falcon 9 dari pangkalan udara Vandenberg pada pukul 15.20 waktu setempat. Satelit seberat dua ton ini akan mengorbit di ketinggian hampir 400 kilometer di atas Bumi selama tiga tahun.
“Peluncuran malam ini adalah pengingat bahwa ruang angkasa bukan hanya tentang menjelajahi galaksi dan planet yang jauh. Ini adalah tentang memahami Bumi kita yang indah namun rapuh,” kata Direktur ESA Josef Aschbacher seperti dilansir Channel News Asia, Rabu (29/5/2024).
Awan, mulai dari kumulus dan cirrus hingga cumulonimbus, adalah fenomena yang bervariasi dan rumit. Komposisinya tergantung pada letaknya di troposfer --lapisan atmosfer Bumi yang paling bawah.
“Awan adalah salah satu kontributor utama dalam perubahan iklim -- dan salah satu yang paling tidak dipahami,” ungkap Dominique Gillieron, kepala bagian proyek pengamatan Bumi ESA.
Troposfer dimulai sekitar 8 kilometer di atas wilayah kutub dan berakhir sekitar 18 kilometer di dekat khatulistiwa. Ini berarti bahwa awan mempengaruhi iklim secara berbeda tergantung pada ketinggian dan garis lintangnya.
Awan kumulus yang putih dan cerah, terbuat dari uap air, berada di tempat yang rendah dan berfungsi seperti payung, serta memantulkan radiasi Matahari kembali ke angkasa dan mendinginkan atmosfer.
Lebih tinggi lagi, awan cirrus yang terbuat dari kristal es memungkinkan radiasi matahari melewatinya, sehingga bumi menjadi panas. “Awan cirrus kemudian memerangkap panas seperti selimut,” kata Gillieron.
EarthCARE akan menjadi satelit pertama yang mengukur distribusi awan secara vertikal dan horizontal. Dua instrumen satelit akan memancarkan cahaya ke arah awan untuk menyelidiki kedalamannya. Salah satunya, yang melibatkan deteksi dan jangkauan cahaya, atau LIDAR, akan menggunakan pulsa laser untuk mengukur awan dan aerosol, yang merupakan partikel kecil seperti debu, serbuk sari, atau polutan yang dipancarkan manusia seperti asap atau abu.
Radar satelit akan menembus awan untuk mengukur seberapa banyak air yang dikandungnya dan melacak kecepatan awan. Instrumen lain akan mengukur bentuk dan suhu. Data tersebut akan membentuk gambaran lengkap pertama tentang awan dari sudut pandang satelit, dan membantu memperbarui model iklim yang memperkirakan seberapa cepat bumi akan memanas.