AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Kasus bunuh diri di kalangan anak muda masih menjadi isu serius yang memerlukan perhatian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kasus bunuh diri setiap tahunnya mencapai lebih dari 800 ribu dan didominasi anak muda.
Peneliti ahli muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Yurika Fauzia Wardhani, menjelaskan bunuh diri merupakan fenomena kompleks yang akar permasalahannya belum dapat ditentukan secara spesifik. Namun demikian, berdasarkan analisis Yurika, kasus bunuh diri pada usia muda umumnya terjadi karena adanya tekanan akademis dan sosial.
“Untuk usia muda, kasus bunuh diri terjadi karena tekanan akademis dan sosial, harapan-harapn tinggi untuk lebih berprestasi dan berkompeten di bidang akademi,” kata Yurika dalam keterangan tertulis, dikutip pada Ahad (4/8/2024).
Selain itu, kata Yurika, kasus bunuh diri pada kelompok muda juga kerap dipicu oleh perubahan hormon, emosi, permasalahan keluarga, jadi korban perundungan, hingga pengaruh media sosial. “Ada juga yang dipicu oleh masalah identitas diri, dan kurangnya dukungan atau support system di sekitar anak muda tersebut,” jelas Yurika.
Dia menemukan berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai angka bunuh diri yang tinggi. Menurut dia, hal ini sangat terkait budaya patriarki dan norma sosial bahwa laki-laki harus lebih tegar, kuat, dan tidak boleh mengeluh. Karenanya ketika mereka menghadapi masalah yang berat, sering kali dipendam seorang diri.
“Ketika beban dan masalahnya dipendam sendiri, akhirnya lebih rentan depresi, yang akhirnya memicu bunuh diri,” kata dia.
Agar kasus bunuh diri di kalangan muda menurun, Yurika menekankan pentingnya membentuk pelayanan kesehatan mental yang lebih baik. Selain itu, pemerintah bersama dengan instansi terkait dinilai perlu membuat suatu program pencegahan bunuh diri.