AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Mencegah tindakan kriminal pada anak bukan tugas yang mudah, namun dengan pemahaman yang mendalam tentang perkembangan otak, kita dapat mengambil langkah-langkah proaktif sejak dini. Salah satu periode kritis dalam perkembangan otak adalah masa kehamilan.
Psikolog Anastasia Satriyo memaparkan sejumlah kiat guna menghindarkan anak dari pemikiran dan tindakan kriminal, yaitu dengan berfokus pada perkembangan otak pada anak yang dimulai pada saat mempersiapkan kehamilan. Dalam siaran Kementerian Kesehatan di Jakarta, Rabu (2/10/2024), Anastasia mengatakan kesiapan emosi orang tua merupakan salah satu hal yang diperlukan dalam perkembangan otak anak. Namun di Indonesia, katanya, biasanya pasangan yang baru menikah diharapkan sudah mengandung anak di bulan berikutnya, sehingga belum siap menjadi orang tua.
Dia menilai, stresor seperti emosi-emosi yang intens, atau kekerasan yang dialami atau dilihat selama kehamilan, dapat memengaruhi kesehatan janin. Oleh karena itu, dia menyebutkan, idealnya pasangan menunggu dulu selama setahun untuk bersiap-siap terkait kehamilan.
"Kalau kita belum tahu berlatih cara mengelola stres hidup sebagai orang dewasa individu aja kesulitan, lalu kita berpasangan tuh juga ada stres yang harus kita kelola bersama, gimana nanti kita mampu mengelola stres ketika punya anak gitu. Karena punya anak itu ya kita bahagia, tapi kan stres juga," katanya.
Selain kesiapan mental orang tua, katanya, faktor lingkungan juga memengaruhi. Oleh karena itu, orang tua perlu mencari tahu data tentang kriminalitas di daerah mereka tinggal serta mengamati seperti apa orang-orang di komunitas tempat tinggalnya.
Anas juga menyebut perlunya membangun kelekatan psikologis antara orang tua dan anak, yang dibentuk pada saat anak di bawah umur dua tahun. "Gimana tiap pagi anaknya bangun kita sapa dengan wajah menyenangkan. Karena ketika kita wajahnya seneng ngeliat anak, itu masuk ke pengalaman otaknya. 'Oh saya itu manusia berharga ya'. Dan rasanya dicinta itu level ini," katanya.
Dalam kesempatan itu dia juga menyebutkan bahwa Kementerian Kesehatan menaruh perhatian pada fenomena depresi pada ibu setelah melahirkan, karena wajah menjadi datar, dan ekspresi yang datar adalah sesuatu yang menakutkan bagi anak bayi. Psikolog itu juga menambahkan, anak juga mempelajari hubungan sebab-akibat, sehingga apabila anak tersebut merasa orang tuanya hanya memberikan respons saat anak melakukan kegiatan berbahaya atau agresif, mereka akan lebih sering berulah agar diperhatikan orang tuanya.
Dia menyebutkan, orang tua juga perlu membantu mengelola emosi anak, karena pada masa anak-anak dan remaja, otak masih mengalami co-regulation. Menurutnya, untuk mengembangkan manusia yang sehat mental, seseorang perlu ditenangkan dan masalahnya dibereskan.
"Karena emosi anak dan otaknya kaya sekering listrik. Kalau turun gak bisa naik sendiri atau turun sendiri. Harus dibantu sama orang dewasanya," katanya.
Apabila seseorang punya masalah-masalah emosional dan selalu hidup dalam ketakutan, baik karena ancaman atau karena masalah yang tak terselesaikan, maka mereka akan merasa bahwa hidup dalam stres dan ketakutan adalah sebuah hal wajar. "Lama-lama anak-anak yang dulunya menjadi korban kekerasan, korban di-bully, penindasan. Tanpa proses intervensi psikologis atau tanpa dibantu profesional. Semua orang yang jadi korban akan menjadi pelaku," ujarnya.