Para peserta survei direkrut dari sekolah swasta dan negeri untuk memastikan bahwa anak-anak dari semua latar belakang sosial ekonomi diikutsertakan dalam penelitian. Kuesioner kesehatan pasien yang divalidasi untuk mengukur kecemasan dan depresi digunakan untuk menilai tekanan psikologis.
Anak-anak ditanyai tentang seberapa sering mereka mengalami masalah kesehatan psikologis tertentu dalam dua minggu sebelumnya, dan respons mereka dikodekan untuk menentukan tingkat tekanan psikologis yang normal, ambang batas, dan signifikan secara klinis.
Kuesioner tambahan digunakan untuk menentukan frekuensi penggunaan telepon pada malam hari, durasi tidur, dan frekuensi pengalaman perundungan siber. Penggunaan telepon pada malam hari dikategorikan antara tidak pernah dan lebih dari lima kali sepekan, sedangkan durasi tidur delapan jam setiap malam dikategorikan antara tidak pernah dan selalu. Frekuensi perundungan siber dinilai antara tidak pernah dan sama dengan atau lebih dari satu kali pada semester sebelumnya.
Siswa menyelesaikan survei daring di laptop atau perangkat seluler mereka selama jam pelajaran di bawah pengawasan guru. Selanjutnya, data mereka dianonimkan, dan hanya data agregat yang digunakan untuk analisis.
Penggunaan telepon pada malam hari, durasi tidur, dan tekanan psikologis dianalisis sebagai variabel kategoris, dengan data tekanan psikologis didikotomikan sebagai normal hingga ringan atau sedang hingga berat.
Lebih jauh, analisis tersebut dikelompokkan berdasarkan usia, berdasarkan apakah siswa tersebut berada di sekolah dasar atau menengah dan jenis kelamin. Berdasarkan temuan dari penelitian lain, para peneliti berhipotesis bahwa anak perempuan lebih rentan terhadap perundungan siber dan berisiko lebih tinggi mengalami kurang tidur dan tekanan psikologis.
Penelitian tersebut menemukan bahwa penggunaan telepon pada malam hari umum terjadi di kalangan anak-anak, terutama di kalangan mereka yang berada di sekolah menengah, dengan lebih dari 60 persen siswa melaporkan penggunaan telepon pada malam hari setidaknya sepekan sekali. Selain itu, hampir 15 persen siswa melaporkan mengalami perundungan siber pada semester sebelumnya, dengan anak laki-laki lebih banyak menjadi korban perundungan siber di sekolah dasar dan perundungan siber di sekolah menengah lebih banyak terjadi di kalangan anak perempuan.
Lebih jauh, anak-anak yang menjadi korban perundungan siber ditemukan lebih mungkin menggunakan ponsel mereka pada malam hari, yang dikaitkan dengan hasil tidur yang lebih buruk dan tekanan psikologis. Sejumlah besar anak tidak memenuhi pedoman yang direkomendasikan untuk durasi tidur.
Seperempat dari anak-anak sekolah dasar melaporkan tidak mendapatkan delapan jam tidur malam yang direkomendasikan, seperti halnya 40 persen siswa sekolah menengah, terutama anak perempuan.
Anak perempuan di sekolah menengah juga melaporkan tingkat tekanan psikologis yang lebih besar, dengan perbedaan berbasis gender menjadi lebih jelas menjelang masa remaja. Namun, terlepas dari usia atau jenis kelamin, siswa yang mengalami perundungan siber melaporkan memiliki tekanan psikologis yang lebih besar dan kurang tidur.
Secara keseluruhan, temuan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan telepon pada malam hari di kalangan anak-anak dan remaja secara signifikan dikaitkan dengan kurangnya tidur dan tingkat tekanan psikologis yang lebih tinggi. Utamanya, di kalangan anak-anak yang menjadi korban perundungan siber.
Penelitian ini menyoroti perlunya mengelola penggunaan perangkat digital pada malam hari untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kualitas tidur di kalangan anak-anak dari segala usia dan jenis kelamin. Para peneliti juga merekomendasikan penelitian lebih lanjut tentang dampak perundungan siber selama penggunaan telepon pada malam hari.