Setahun sejak konflik di Gaza dimulai, Malarkey telah membagikan beberapa unggahan di akun Instagram-nya yang menyatakan dukungannya bagi rakyat Palestina. Ia juga bergabung dengan seruan luas untuk gencatan senjata di wilayah tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan MintPress News pada 2021, Malarkey berbicara tentang meninggalkan Lebanon bersama keluarganya saat masih kecil setelah invasi Israel ke Beirut tahun 1982. Israel menginvasi Lebanon untuk melawan pejuang Palestina, menduduki sebagian wilayah negara tersebut hingga tahun 2000.
Ketegangan baru-baru ini meningkat, dengan Lebanon bulan ini mengajukan gugatan resmi terhadap Israel di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan alasan ledakan mematikan yang melibatkan pager yang menewaskan sedikitnya 37 orang dan melukai ribuan lainnya. Serangan tersebut, yang dimulai pada pertengahan September, menggunakan perangkat komunikasi yang direkayasa untuk menargetkan anggota kelompok Hizbullah.
Berbicara tentang awal mulanya di Beirut, Malarkey berkata, "Ayah saya orang Irlandia-Amerika. Ia mengajar di AUB, Universitas Amerika di Beirut, dan ibu saya adalah seorang mahasiswi di sana. Dan ayah ibu saya lahir di Nazareth di Palestina, dan ia juga mengajar di AUB”.
"Jelas, semuanya dimulai sekitar waktu itu. Keluarga saya, kami harus berlarian. Kami mengalami ledakan bom. Ada peluru beterbangan di jendela. Kami harus melarikan diri. Kami bersembunyi,” ujarnya.
Dia mengatakan ibunya sampai sekarang masih mengalami PTSD. “Dia tidak bisa menghadapi kembang api dan sejenisnya. Untuk waktu yang lama, saya kira, saya punya riwayat ini, tetapi tidak pernah benar-benar membicarakannya, karena saya tidak cukup tahu tentangnya. Itu tidak banyak dibicarakan dalam keluarga saya, tentang seluk-beluk apa yang terjadi selama waktu itu,” ujar Malarkey. Starbucks merupakan salah satu dari sejumlah merek di seluruh dunia yang menghadapi seruan pemboikotan oleh pendukung Palestina.
Lihat videonya: