AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Pengumuman Hasil Seleksi Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2025 telah diumumkan, dengan hampir 600 ribu siswa dinyatakan tidak lolos. Kegagalan ini sering kali memicu kesedihan dan kekecewaan yang mendalam di antara siswa.
Menanggapi hal ini, Guru besar ilmu psikologi Universitas Indonesia (UI), Rose Mini Agoes Salim, mengatakan bahwa merasakan sedih dan kecewa saat gagal dalam SNBP sangat wajar. Namun dia mengingatkan bahwa kegagalan ini bukanlah ini bukanlah akhir dari segalanya.
"Anak-anak yang ikut SNBP pasti sudah terbiasa dengan persaingan dan punya mental juara. Tapi mental juara itu kan sebetulnya bukan hanya soal menang, tapi juga menerima kekalahan dan kegagalan," kata Prof Rose saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (20/3/2025).
Meski masih ada jalur masuk lain, Prof Rose memahami bahwa tidak mudah untuk menerima hasil yang mengecewakan. Karenanya menurut dia, orang tua berperan sangat penting dalam mendukung anak untuk memproses dan menerima kegagalannya.
"Kalau saya jadi orang tua mereka, saya akan menyiapkan mereka untuk menerima kegagalan, nggak semua sesuatu itu sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun punya prestasi yang luar biasa, tapi kalau dalam hal ini tidak berhasil, harus ada kesiapan untuk menghadapi ini," kata Prof Rose.
Lebih lanjut dia menyarankan agar orang tua membantu anak mengenali potensi dirinya secara menyeluruh. Ini dimaksudkan agar anak bisa menghargai potensi dirinya yang lain, selain dari sisi akademik.
"Misalnya anak punya kemampuan komunikasi yang baik, bergaul, anak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain, hal yang seperti itu harus disadari oleh anak. Sehingga anak bisa memiliki rasa bangga akan dirinya," kata Prof Rose.
Ia juga menyarankan orang tua untuk tidak menunjukkan rasa kecewa atau sedih saat mengetahui anaknya gagal SNBP. Sebaliknya, orang tua dinilai perlu bijak dalam menerima kegagalan sang buah hati, dan sebaiknya memberikan semangat kepada anak untuk menghadapi seleksi selanjutnya.
"Kalau kecewa, orang tua wajar kecewa, tapi menurut saya seharusnya memikirkan mental anak. Karena kalau orang tua menunjukkan rasa kecewanya, ya kasihan juga anaknya. Padahal anak itu sangat butuh dukungan orang tua saat masa sulit anak," kata dia.