AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menegaskan tukang gigi tidak termasuk dalam kategori tenaga kesehatan karena mereka tidak memiliki kompetensi yang setara dengan dokter gigi. Perluasan kewenangan tukang gigi hingga mencakup ranah medis dianggap bukan solusi yang tepat oleh PDGI.
Ketua Pengurus Besar PDGI drg Usman Sumantri mengatakan, tukang gigi adalah praktik tradisional yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 tahun 2014, katanya, tukang gigi hanya diperbolehkan memasang gigi tiruan lepasan sederhana, tanpa tindakan medis, dan dengan izin praktik tertentu.
"Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga berpotensi dipidana. PB PDGI menegaskan bahwa memperbolehkan pihak nonprofesional menjalankan praktik medis adalah tindakan yang melanggar hukum dan berisiko besar terhadap keselamatan masyarakat," kata dia pada Selasa (15/4/2025).
Usman mencontohkan, salah satu risiko yang dapat terjadi adalah penyakit menular. Hal ini karena ada sejumlah penyakit yang dapat menular melalui air liur.
Selain itu, risiko seperti kebersihan saat melakukan prosedur. Terlebih, katanya, tukang gigi tidak dibekali pemahaman tentang anatomi, patologi, dan pengendalian infeksi seperti dokter.
Dia menyebutkan, Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa hanya tenaga medis dan tenaga kesehatan resmi yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang dapat memberikan layanan kesehatan. Adapun hal tersebut Usman sampaikan sebagai respons pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beberapa waktu lalu tentang meningkatkan kompetensi tukang gigi guna menangani kasus sakit gigi yang tinggi di Indonesia.
"Apakah pernyataan ini betul-betul disadari atau hanya slip of tongue, PB PDGI yang mewadahi seluruh dokter gigi Indonesia memandang hal ini penting dan menarik untuk menjadi pembahasan bagaimana memposisikan tukang gigi di dalam pelayanan kesehatan gigi di Indonesia," katanya.
Di satu sisi, katanya, kekurangan tenaga dokter gigi memang menjadi persoalan serius, terutama di daerah terpencil kepulauan dan perbatasan. Namun di sisi lain, solusi yang ditawarkan, apabila benar apa yang dimaksud, justru menimbulkan kekhawatiran akan turunnya standar keselamatan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Usman mengatakan, diskusi tentang pernyataan ini bukan sebagai perdebatan profesi, melainkan momentum strategis guna mendorong transformasi layanan kesehatan gigi yang lebih terintegrasi, aman, dan profesional, sesuai dengan regulasi yang berdampak pada kesehatan sistemik publik. Menurutnya, hal ini penting untuk diperhatikan, karena kesehatan gigi bukan sebatas urusan mulut.
Dokter itu mengatakan, penyakit gigi berkaitan erat dengan penyakit-penyakit lainnya, seperti diabetes, sakit jantung, sakit ginjal, risiko saat kehamilan, bahkan stunting. "Tingginya angka kejadian masalah gigi, yang menempati urutan teratas dalam hasil skrining kesehatan nasional, adalah sinyal bahwa sistem pelayanan kesehatan belum sepenuhnya mengintegrasikan dimensi oral dalam pendekatan promotif dan preventif," ujarnya.