AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Bagi generasi muda, khususnya anak-anak dan remaja, dunia digital, terutama media sosial (medsos) bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, tersimpan berbagai risiko yang mengintai dan memerlukan pemahaman mendalam dari pihak yang paling bertanggung jawab atas keselamatan dan perkembangan mereka yaitu orang tua.
Pendidik dan pendiri komunitas Keluarga Kita, Najelaa Shihab, dengan tegas menyampaikan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk memahami beragam risiko dalam dunia digital, khususnya media sosial, sebelum mereka memberikan batasan di ruang digital anak-anak mereka. Menurut Najelaa, pemahaman orang tua terhadap risiko digital adalah fondasi utama dalam menciptakan lingkungan digital yang aman bagi anak.
Ia menyoroti kekhawatiran mendasar terkait konten yang dikonsumsi anak di dunia maya. “Kalau kita ngomong soal konten, itu tentu orang tua khawatir. Dia kontak sama keluarganya sedikit, tapi kontak sama orang yang nggak jelas dan nggak dikenal di dunia maya, banyak amat. Belum tentu juga orangnya sebagaimana yang digambarkan. Tapi kontak itu juga sebetulnya berkait dengan bagaimana anak itu menjadi bagian dari sesuatu konten, values, dan sebagainya yang memang bertentangan dengan values yang dicoba ditemukan dalam keluarga,” ujarnya dalam konferensi pers Cerdas Digital bersama Meta di Jakarta pada Rabu (16/4/2025).
Kutipan ini menggarisbawahi dua aspek penting. Pertama, interaksi anak dengan individu yang tidak dikenal di dunia maya, yang berpotensi menimbulkan ancaman keamanan dan eksploitasi. Kedua, paparan terhadap konten dan nilai-nilai yang bertentangan dengan norma dan etika yang ditanamkan dalam keluarga, yang dapat mempengaruhi pembentukan karakter dan pandangan dunia anak.
Najelaa mengidentifikasi risiko lain yang perlu disadari oleh orang tua, yaitu sifat konsumtif yang dipicu oleh tren di media sosial. Ia menjelaskan anak-anak, yang belum memiliki kemampuan kognitif yang matang untuk memahami implikasi jangka panjang dari perilaku konsumtif, rentan untuk ikut-ikutan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan hanya karena sedang populer di platform media sosial.
Dia mengatakan risiko lain yang perlu dipahami orang tua adalah sifat konsumtif anak karena ikut-ikutan tren yang beredar di media sosial. Hal itu, kata Najelaa, merupakan tantangan bagi orang tua karena anak belum bisa memahami arti konsumtif yang berakibat anak ikut-ikutan membeli barang yang tidak diperlukan. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kondisi finansial keluarga, tetapi juga dapat membentuk mentalitas instan dan kurang menghargai proses dalam mencapai sesuatu.
Selain risiko konten dan konsumerisme, Najelaa Shihab juga menekankan pentingnya menyadari potensi adiksi terhadap paparan layar yang berlebihan. Selain itu Najelaa juga mengatakan risiko adiksi terhadap paparan layar juga perlu menjadi perhatian orang tua dalam upaya membatasi anak bermedia sosial secara berlebihan.
Adiksi layar dinilai dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari gangguan tidur, masalah kesehatan mata, penurunan kemampuan fokus dan konsentrasi, hingga masalah sosial dan emosional akibat kurangnya interaksi dunia nyata. Oleh karena itu, pemahaman akan mekanisme adiktif dalam media sosial menjadi krusial bagi orang tua dalam menetapkan batasan waktu penggunaan yang sehat bagi anak-anak mereka.
Menghadapi kompleksitas risiko digital ini, Najelaa Shihab menekankan pentingnya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak. Dia mengatakan perlunya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak untuk menciptakan diskusi agar anak bisa memahami dan menganalisa tentang cara kerja dunia digital.
Komunikasi yang efektif memungkinkan orang tua tidak hanya sekadar memberikan larangan, tetapi juga menjelaskan alasan di balik batasan tersebut dengan bahasa yang dapat dipahami oleh anak. “Apapun kompetensi yang dipelajari oleh anak, dipelajari oleh orang tua dalam konteks era digital, itu sebenarnya bisa ditransfer ke konteks non digital. Jadi kalau kita belajar ngasih batasan di sosial media, kalau kita terbiasa berdiskusi, terbuka dengan anak tentang bagaimana sih cara kerja algoritma, anak itu lihat apapun, dia akan terbiasa untuk kritis, untuk menganalisa, dan sebagainya,” jelasnya.
Najelaa juga menyoroti pentingnya pemahaman orang tua terhadap cara kerja teknologi. Ketika orang tua memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja, bagaimana informasi disebarkan, dan bagaimana interaksi daring dapat memengaruhi psikologis seseorang, mereka akan lebih mampu merumuskan aturan yang relevan dan efektif.
Najeela juga mengapresiasi langkah yang dilakukan perusahaan teknologi Meta untuk ikut menjaga keamanan digital anak dengan pengaturan yang bisa dikontrol oleh orang tua dengan inovasi Akun Remaja. Inisiatif seperti Akun Remaja, yang dilengkapi dengan fitur kontrol orang tua dinilai merupakan langkah positif dalam memberikan alat bagi orang tua untuk memantau dan mengelola aktivitas daring anak-anak mereka. Namun, Najelaa menekankan bahwa teknologi hanyalah alat bantu, dan peran aktif orang tua dalam mendampingi dan mengedukasi anak tetaplah yang utama.