AMEERALIFE.COM, JAKARTA — Sebuah studi menemukan bahwa kelebihan lemak tubuh di area tertentu seperti kaki, pinggul, dan kepala, berhubungan dengan peningkatan gejala depresi. Penelitian ini dipublikasikan dalam Journal of Affective Disorders dan menyoroti pentingnya distribusi lemak tubuh dalam kaitannya dengan kesehatan mental.
Studi ini menggunakan data dari 10.694 orang dewasa peserta National and Nutrition Examination Survey di Amerika Serikat. Para peserta menjalani pemindaian tubuh dengan teknologi dual-energy X-ray absorptiometry (DXA) untuk mengukur lemak, otot, dan tulang secara akurat.
Hasil analisis menunjukkan bahwa individu dengan persentase lemak tubuh total tertinggi memiliki kemungkinan lebih besar mengalami depresi, dibandingkan mereka yang berada di kuartil terendah. Hubungan ini tetap kuat meskipun tekah disesuaikan dengan berbagai faktor demografis, gaya hidup, dan kesehatan.
Secara khusus, lemak di area kaki, pinggul dan paha, serta subtotal tubuh ditemukan paling berhubungan dengan risiko depresi. Lemak di kepala juga menunjukkan kaitan yang lebih ringan terhadap peningkatan risiko tersebut, demikian seperti dilansir laman Psypost, Rabu (30/4/2025).
Penelitian juga menemukan bahwa hubungan antara lemak tubuh dan depresi lebih kuat pada pria dibandingkan wanita. Pada pria, lemak di kaki dan total tubuh menjadi indikator paling signifikan. Selain itu, risiko depresi terkait lemak tubuh lebih nyata pada individu dengan kategori berat badan kurang (underweight) dan kelebihan berat badan (overweight). Pada individu dengan berat badan normal, hubungan ini tidak sejelas kelompok lainnya.
Peneliti menduga, beberapa mekanisme biologis dan psikososial terlibat, termasuk peradangan akibat jaringan lemak berlebih, gangguan regulasi hormon leptin, serta dampak stigma sosial terhadap citra tubuh. Meskipun menawarkan temuan penting, penelitian ini memiliki keterbatasan karena hanya dilakukan pada satu waktu tertentu, sehingga tidak bisa memastikan apakah lemak tubuh yang tinggi menyebabkan depresi atau sebaliknya. Selain itu, penilaian depresi juga hanya menggunakan satu kuosioner tanpa pemeriksaan klinis tambahan.