Ahad 29 Jun 2025 10:31 WIB

Era Baru Vogue: Mundurnya Pemimpin Redaksi Anna Wintour dan Beratnya Bayang-Bayang Legenda

Anna Wintour mundur dari posisi pemimpin redaksi Vogue setelah 37 tahun menjabat.

Red: Qommarria Rostanti
Anna Wintour. Anna Wintour mundur dari posisi pemimpin redaksi US Vogue.
Foto: AP/Jim McIsaac/FR170481 AP
Anna Wintour. Anna Wintour mundur dari posisi pemimpin redaksi US Vogue.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Dunia mode sedang menyaksikan sebuah babak baru dengan berita mundurnya Anna Wintour dari posisi pemimpin redaksi US Vogue setelah 37 tahun lamanya. Sosoknya yang berusia 75 tahun ini, yang sering disebut sebagai figur paling berpengaruh dalam industri mode, akan mengalihkan fokus dari operasional harian Vogue.

Selama kepemimpinannya, Wintour dikenal karena kemampuannya menjadikan sampul depan Vogue sebagai pernyataan otoritatif tentang mode kontemporer, serta kendali penuhnya atas setiap halaman glamor di dalamnya. Namun, pengunduran diri Wintour bukan berarti ia sepenuhnya pensiun.

Baca Juga

Dilansir laman The Independent.co.uk pada Ahad (29/6/2025), Condé Nast, perusahaan induk Vogue, dengan cepat menepis spekulasi tersebut. Wintour akan tetap memegang peran senior di grup, termasuk sebagai direktur editorial global Vogue dan kepala konten. Ini berarti, siapa pun yang menggantikan posisi Anna Wintour sebagai pemimpin redaksi harian US Vogue akan menghadapi tugas yang luar biasa berat. Tidak hanya karena warisan Wintour yang masif, tetapi juga karena mereka akan tetap melapor kepadanya.

Wintour, yang lahir di Inggris, pertama kali dikenal publik luas sebagai inspirasi di balik novel laris The Devil Wears Prada (2003) dan adaptasi filmnya pada 2006. Peran editor majalah tiran Miranda Priestly, yang diperankan Meryl Streep, bahkan mengantarkannya pada nominasi Oscar.

Dalam pertemuan staf di New York, Wintour mengumumkan bahwa US Vogue akan mencari kepala konten editorial baru, menyebutnya sebagai "keputusan penting". Namun, ia menegaskan tidak akan meninggalkan kantornya denhan menyatakan, "Saya akan mencurahkan seluruh perhatian saya pada kepemimpinan global dan bekerja dengan tim editor brilian kami di seluruh dunia".

Warisan kuat di balik transisi

Selama kepemimpinannya, Wintour telah dianugerahi gelar Dame oleh Inggris pada 2017 dan pada Februari tahun ini, ia menjadi Companion of Honour—sebuah pengakuan elite. Pada upacara di London, Wintour melepas kacamata hitam khasnya dan mengatakan kepada Raja Charles III bahwa ia tidak berencana untuk berhenti bekerja.

Dibesarkan di Inggris, Wintour mendominasi Vogue pada masa kejayaan majalah cetak. Ia mengubah US Vogue dari publikasi yang stagnan pada 1988 menjadi sebuah kekuatan yang menetapkan tren, sering kali menentukan nasib desainer, selebritas, dan merek.

Dia berhasil membawa majalah tersebut ke khalayak global dengan anggaran besar untuk model, desain, fotografi, dan jurnalisme, yang didanai oleh iklan mewah dan tarif berlangganan yang tinggi.

Meskipun Vogue tetap menjadi majalah unggulan mode, ia, seperti banyak publikasi cetak lainnya, berjuang untuk beradaptasi dengan era digital.

Wintour, yang kadang dijuluki "Nuclear Wintour" karena gaya kepemimpinannya yang tegas seperti membatalkan pekerjaan tanpa diskusi, selalu hadir di barisan depan catwalk dengan potongan rambut bobnya yang tidak berubah. Dokumenter 2015 The September Issue tidak hanya menampilkan citra "ratu es" dan ambisinya yang kuat, tetapi juga mengungkapkan sisi manusiawi yang lebih hangat.

Wintour juga selama bertahun-tahun mengelola Met Gala, sebuah acara amal mewah di Manhattan yang menarik daftar selebriti papan atas dari dunia mode, film, politik, dan olahraga dengan busana spektakuler. Ia adalah penggemar dan pemain tenis fanatik, sering terlihat di final Grand Slam, serta penggalang dana utama untuk politisi Partai Demokrat seperti Barack Obama dan Hillary Clinton. Joe Biden bahkan menganugerahinya Presidential Medal of Freedom, penghargaan tertinggi AS, sebelum meninggalkan jabatannya pada Januari.

Sebagai kepala konten Condé Nast, ia akan terus mengawasi publikasi termasuk Vogue, Wired, Vanity Fair, GQ, Condé Nast Traveler, dan Glamour.

Mengenai novel The Devil Wears Prada yang ditulis oleh mantan asistennya, Lauren Weisberger, Wintour selama bertahun-tahun menolak berkomentar. Namun, ketika novel itu diadaptasi menjadi musikal dan dibuka di London pada 2024, ia mengatakan kepada BBC bahwa itu "untuk penonton dan orang-orang yang bekerja dengan saya untuk memutuskan apakah ada kemiripan antara saya dan Miranda Priestly".

Ia juga menjelaskan kacamata hitamnya, mengatakan kepada media tersebut bahwa "mereka membantu saya melihat dan mereka membantu saya untuk tidak melihat. Mereka membantu saya terlihat dan tidak terlihat. Mereka adalah properti, menurut saya".

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement