AMEERALIFE.COM, DEPOK -- Hasil jajak pendapat Lentera Anak & U-Report Unicef (2022) menemukan ada 98,7 persen responden mengakui bahwa mereka menjadi perokok pasif. Meski begitu, mayoritas responden (84,7 persen) tidak berani menegur langsung perokok untuk berhenti merokok di dekat mereka.
Alih-alih menegur, para perokok pasif menyikapi ketidaksukaannya dengan cara menutup hidung, menjauh dari asap rokok, dan bahkan diam saja, meskipun tahu asap rokok berbahaya. Ini menunjukkan betapa perokok pasif tidak berdaya dan tidak mampu bersuara untuk melindungi dirinya dari paparan asap rokok.
Ketua Perkumpulan Promotor & Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI), Rita Damayanti, menilai bahwa ketidakmampuan perokok pasif untuk menegur perokok aktif berkaitan dengan budaya masyarakat Indonesia. Kebanyakan orang cenderung tidak ingin berkonflik dan ingin hidup tenang atau seimbang.
"Belum banyak yang berani negur, karena budaya kita itu nggak enakan. Mungkin ibu-ibu cenderung lebih berani ya, tapi kalau yang negurnya laki-laki bisa berujung berantem," kata Rita dalam sebuah seminar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat Kamis (16/3/2023).
Rita mengungkap bahwa sejak lama telah terbentuk persepsi yang keliru terkait merokok, di mana merokok kerap dianggap sebagai budaya dan perilaku sosial yang normal. Mispersepsi ini pada akhirnya membuat perokok aktif merasa punya kebebasan untuk merokok di tempat umum, sementara perokok pasif memilih untuk mengalah.
"Merokok itu bukanlah budaya, tapi kebiasaan turun-menurun yang tidak baik dan tidak sehat. Dan kita harus membentuk kesadaran itu di masyarakat," jelas Rita.
Rita juga membantah asumsi para perokok aktif yang menggangap perilakunya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Merokok itu, menurut Rita, lebih ke kesenangan, bukan hak asasi. Malah para perokok aktiflah yang telah merenggut hak asasi perokok pasif untuk menghirup udara yang bersih.