AMEERALIFE.COM, JAKARTA-Cuci darah atau hemodialisis adalah prosedur untuk membuang racun dari dalam tubuh akibat ginjal yang telah rusak. Namun, cuci darah ini bisa menyebabkan anemia. Bagaimana solusi untuk mengatasi anemia pada pasien cuci darah?
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir, mengatakan seperti kita ketahui anemia menjadi problematika bagi pasien cuci darah. Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah dengan penyutikan endogenous erythropoietin (EPO) atau alternatif lain dengan melakukan tranfusi darah.
Internis Konsulen Ginjal dan Hipertensi, dr Afiatin dr. SpPD-KGH., FINASIM mengatakan pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) dengan dialisis yang mengalami anemia harus diterapi dengan baik. Ia mengatakan terapi utama untuk masalah ini adalah dengan pemberian terapi Ertythropoiesis Stimulating Agent (ESA).
"Terapi ESA dapat diberikan kepada pasien dengan HB <10g/dl, penyebab lain anemia sudah disingkirkan, tidak ada anemia defisiensi besi absolut dan tidak ada infeksi berat," jelasnya dalam acara webinar pilih EPO atau transfusi darah?, yang diselenggarakan PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) bersama KPCDI belum lama ini.
Dokter Afiatin menambahkan pemberian ESA tetap merupakan pilihan terbaik untuk terapi anemia pada PGK yang harus dilakukan secara rutin. Menurutnya, ESA biosimilar yang sudah diuji efektif dalam meningkatkan Hb dan mengurangi tranfusi darah.
"Dengan melakukan terapi ESA tubuh dapat meningkatkan Hb yang berkelanjutan, sehingga menghasilkan sel darah merah yang dapat berfungsi secara normal dan dapat mempertahankan target Hb yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien," papar wanita yang juga menjabat sebagai kepala instalasi HD RS Hasan Sadikin Bandung ini.
Sedangkan menurut dr Afiatin, untuk terapi transfusi darah dapat diberikan pada kondisi tertentu. Menurutnya, transfusi darah memiliki banyak risiko apabila dilakukan kepada pasien cuci darah, seperti kelebihan besi dan kelebihan cairan. Selain itu, dapat menimbulkan reaksi tranfusi pada beberapa pasien dan dapat menyebabkan risiko infeksi hepatitis B, C dan HIV, dan risiko lainnya.
"Untuk itu disarankan sebisa mungkin hindari transfusi darah untuk mengurangi risiko efek samping," sarannya.