Sementara di Yopgyakarta, peneliti melihat bahwa sebelum dilakukan intervensi dengan wolbachia, fluktuasi angka kejadian dengue setempat sangat tinggi dengan angka 50 per 100 ribu penduduk. Tetapi pada 2017 ketika pelepasan nyamuk wolbachia di seluruh kota dilakukan, maka fluktuasinya jauh lebih rendah atau relatif lebih datar, meski ada fluktuasi, tapi secara rata-rata angka kasus demam berdarah jauh lebih rendah dibandingkan 30 tahun sebelumnya,
“Jadi dampaknya signifikan karena sekarang kasusnya jauh leih rendah dibanding melihat seluruh kasus selama 30 tahun. Memang akan tetap ada kasus dengue karn bisa saja ada orang tertular di wilayah lain datang ke kota Yogya, bisa ada kasus 1-2 penularan lokal tapi kalau meluhat jumlah kasusnya jauh lebih kecil. Dan ini memberikan harapan mencapai eliminasi dengue di kota Yogyakarta,” ujar dia.
Kebutuhan fogging dari Dinas Kesehatan juga jauh lebih rendah setelah adanya intervensi. Sehingga tentu intervensi wolbachia bisa membuat penghematan anggaran.
Saat nyamuk jantan dengan wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa wolbachia maka telurnya tidak akan menetas, namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak dengan wolbachia seluruh telurnya akan menetas. Selanjutnya bila nyamuk betina dengan wolbachia kawin dengan nyamuk jantan dengan Wolbachia maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung wolbachia.
Soal kekhawatiran sebagian masyarakat yang menyebut bahwa wolbachia bisa menginfeksi ke tubuh manusia dengan tegas Riris mengatakan bahwa Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain bahkan Wolbachia tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik. Kesimpulannya bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti mengandung wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, dimana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan.