Apabila dilihat dari mahasiswa sekarang, beban perkuliahan dan gaya hidup dapat meningkatkan resiko terhadap masalah mental. Dijelaskannya, membangun kesadaran kesehatan mental adalah hal yang seperti 'dua mata pisau'.
Jika edukasi tidak dilakukan, masyarakat tidak kunjung tahu tentang apakah gangguan mental dan bagaimana mental yang sehat itu seharusnya. Oleh karena itu, edukasi terus menerus perlu dilakukan. Hal ini terutama agar masyarakat bisa mengetahui dan mencegah masalah kesehatan mental.
Di sisi lain, ternyata terdapat hal yang memancing potensi masalah mental yang sudah ada menjadi muncul ke permukaan. Individu yang tadinya hanya menerka-nerka apa yang terjadi pada dirinya menjadi mendiagnosis sendiri. Lalu mengambil keputusan sendiri yang dianggapnya paling sesuai.
"Kalau memang menjadi lebih sehat mental tentu tidak mengapa, namun bila kemudian salah jalan, mengakibatkan masalah mental yang lebih berat dan tentu saja bisa berakhir bunuh diri," katanya.
Menyinggung kasus bunuh diri yang terjadi beberapa waktu lalu, Ari mengatakan, keluar dari rumah yang selama ini memberikan kenyamanan untuk kos atau kontrak di kota lain. Situasi ini tentu membutuhkan proses adaptasi yang tidak mudah bagi sebagian orang mahasiswa.
Memasuki dunia perkuliahan mungkin saja berarti harus bersikap lebih dewasa, memasuki situasi baru di mana teman mungkin tidak mudah dijangkau. Sementara itu, teman lama sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing di tempat yang berbeda pula. Di fase ini, mahasiswa dapat merasa kesepian dan depresi.
Selain itu, banyaknya aktivitas turut memengaruhi pola hidup mahasiswa. Kurang tidur memiliki pengaruh terhadap kematangan otak dan fungsi kognitif remaja, yang pada akhirnya berhubungan dengan meningkatnya resiko depresi dan kecemasan. Banyak pula mahasiswa yang melakukan konseling menyatakan kesulitan tidur pada malam hari, sehingga kelelahan dan baru tidur menjelang pagi.