AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Beberapa waktu lalu viral unggahan di media sosial menunjukkan kemasan salah satu obat sakit kepala di Indonesia, di mana tertulis efek sampingnya yaitu anemia aplastik. Apa sebenarnya hubungan antara obat sakit kepala dengan efek samping anemia aplastik? Benarkah obat sakit kepala dapat berisiko menimbulkan anemia aplastik?
Dokter spesialis penyakit dalam di RS Dr Cipto Mangunkusumo, Sukamto Koesnoe, menjelaskan bahwa obat sakit kepala bekerja dengan mekanisme yang bervariasi, tergantung pada jenis obat yang digunakan. Contohnya, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti ibuprofen dan aspirin bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang bertanggung jawab atas produksi prostaglandin, atau zat kimia yang memicu rasa sakit dan peradangan.
Namun, risiko anemia aplastik (kekurangan sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit) tidak secara langsung terkait dengan penggunaan obat sakit kepala. Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh faktor-faktor genetik, infeksi, paparan bahan kimia beracun, atau penggunaan obat-obatan tertentu, seperti kemoterapi atau obat imunosupresan.
“Sementara itu, risiko anemia aplastik tidak terkait langsung dengan penggunaan obat sakit kepala,” kata dr Sukamto kepada Republika.co.id, Senin (22/4/2024).
Dr Sukamto menegaskan bahwa kaitan antara penggunaan obat sakit kepala dan risiko anemia aplastik masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena itu, penting untuk berkonsultasi dengan dokter sebelum mengonsumsi obat sakit kepala secara rutin, terutama jika memiliki riwayat anemia aplastik atau masalah darah lainnya.
Dr Sukamto mengatakan risiko anemia aplastik tidak selalu terkait dengan anggapan penggunaan jangka panjang atau overdosis obat sakit kepala. Anemia aplastik lebih sering disebabkan oleh faktor-faktor genetik, infeksi, paparan bahan kimia beracun, atau penggunaan obat-obatan tertentu seperti kemoterapi atau obat imunosupresan. Dengan demikian, penting untuk menggunakan obat sakit kepala sesuai dosis yang direkomendasikan oleh dokter dan tidak mengonsumsinya secara berlebihan atau dalam jangka panjang tanpa pengawasan medis.