AMEERALIFE.COM, JAKARTA – Sebuah studi dari Juntendo University Jepang menemukan stres bisa memperburuk gejala alergi kulit. Menurut para peneliti, stres memengaruhi fungsi sel imun bernama makrofag yang seharusnya membantu peradangan. Akibatnya, gejala alergi menjadi lebih parah dan bisa berlangsung hingga sepekan setelah peristiwa stres.
Dalam studi yang dipublikasikan dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology, para peneliti menjelaskan bahwa makrofag bertugas membersihkan sel-sel mati dari jaringan, tetapi hormon stres norepinefrin membuat sel ini kehilangan kemampuannya. Penelitian ini berfokus pada alergi kulit yang disebabkan oleh antibodi IgE.
Antibodi ini biasanya melindungi tubuh dari zat berbahaya, namun pada kondisi alergi, IgE bereaksi berlebihan terhadap zat-zat yang tidak berbahaya seperti serbuk sari atau bulu hewan peliharaan. Reaksi ini sering ditemukan pada kondisi seperti dermatitis atopik (eksim).
Untuk penelitian ini, para peneliti melakukan percobaan pada tikus laboratorium dengan memberikan stress berupa pembatasan gerak secara berkala, menyerupai pengalaman stres psikologis pada manusia, dan kemudian memicu reaksi alergi pada kulit. Hasilnya menunjukkan bahwa tikus yang mengalami stres mengembangkan reaksi alergi yang jauh lebih parah dibandingkan tikus yang tidak stres, dengan lebih banyak sel inflamasi eosinofil pada lapisan kulit mereka.
Eosinofil adalah sel darah putih yang biasanya melawan infeksi parasit, tetapi dalam reaksi alergi, eosinofil justru menyebabkan kerusakan jika jumlahnya terlalu banyak.
Ketika tubuh mengalami stres, sistem saraf simpatik -yang mengatur respon lawan atau lari- melepaskan hormon norepinefrin. Hormon ini berinteraksi dengan reseptor khusus pada makrofag. Akibatnya, makrofag menjadi kurang efektif dalam menjalankan tugas utamanya yaitu membersihkan sel mati pada jaringan.
“Efek stres ini juga bersifat jangka panjang. Kami menemukan bahwa dampak stres pada sel imun bisa meninggalkan memori yang disebut stress memory. Hal ini membuat sel imun termasuk makrofag yang terbentuk setelah stres, tetap terpengaruh,” kata salah satu peneliti studi, Soichiro Yoshikawa, seperti dilansir Study Finds, Rabu (29/1/2025).
Yang menarik, peneliti juga menemukan kemungkinan pengobatan untuk mengatasi dampak ini. Ketika tikus stres mengalami penumpukan sel mati di area peradangan, hal ini memicu produksi CCL24, protein yang menarik lebih banyak sel inflamasi.
Namun, dengan menggunakan inhibitor enzim caspase-1, peneliti berhasil mengurangi peradangan pada tikus. Hasilnya, pembengkakan kulit berkurang dan jumlah sel inflamasi di area yang terkena juga menurun. Melalui studi ini, peneliti menggarisbawahi pentingnya pengelolaan stres, bukan hanya untuk kesehatan mental tetapi juga untuk menjaga imun tubuh.