Senin 21 Apr 2025 08:09 WIB

Teror Digital, Ketika Ruang Maya Berubah Jadi Arena Pelecehan Seksual

Penelitian menyoroti hubungan antara pelecehan siber dan kesulitan psikologis wanita.

Red: Qommarria Rostanti
Pelecehan (ilustrasi). Perempuan yang mengalami pelecehan seksual daring melaporkan kesehatan mental yang jauh lebih buruk dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.
Foto: Pixabay
Pelecehan (ilustrasi). Perempuan yang mengalami pelecehan seksual daring melaporkan kesehatan mental yang jauh lebih buruk dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Di era digital yang serbaterhubung, di mana sebagian besar interaksi sosial dan profesional berlangsung secara daring, dunia maya seharusnya terasa aman dan penuh rasa hormat. Namun, bagi banyak orang, terutama perempuan, remaja laki-laki, dan kelompok-kelompok marginal, kenyataan yang dihadapi justru jauh berbeda.

Pelecehan seksual siber adalah isu yang berkembang dan sangat merugikan, menuntut kesadaran dan tindakan yang lebih besar dari berbagai pihak. Pelecehan seksual siber mencakup berbagai perilaku seksual yang tidak diinginkan atau bersifat kasar yang terjadi di ranah daring.

Baca Juga

Pelecehan berbasis gender melibatkan pesan, gambar, atau meme ofensif yang menargetkan gender seseorang, sering kali tanpa konten seksual eksplisit, namun tetap sangat merendahkan dan menyakitkan. Perhatian seksual daring yang tidak diinginkan dapat berupa pengiriman pesan teks seksual (sexting) atau aksi cyberflashing yang tidak diminta, yaitu mengirimkan gambar-gambar eksplisit secara seksual kepada orang lain tanpa persetujuan mereka.

Ada pula koersi seksual yanh merupakan tindakan menggunakan ancaman, pemerasan, atau manipulasi emosional untuk memaksa seseorang berbagi konten intim atau terlibat dalam perilaku seksual secara daring. Kekhawatiran yang juga semakin meningkat adalah sextortion (pemerasan seksual), di mana para korban diperas dengan menggunakan gambar-gambar pribadi mereka, sering kali di bawah tekanan yang luar biasa berat.

Pelecehan seksual siber dinilai bukan hanya bersifat invasif, tetapi juga sangat merusak. Dilansir laman The Conversation pada Senin (21/4/2025), sebuah penelitian yang didasarkan pada riset doktoral psikolog klinis Marvin Iroegbu tentang hubungan antara pelecehan seksual siber dan kesulitan psikologis pada perempuan, menemukan bahwa perempuan yang mengalami pelecehan seksual daring melaporkan kesehatan mental yang jauh lebih buruk dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.

Kecemasan, depresi, trauma, dan citra tubuh yang negatif menjadi lebih mungkin terjadi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan objektivikasi diri dan fokus yang berlebihan pada penampilan fisik akibat menjadi target pelecehan.

Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan mengalami pelecehan daring lebih sering dan dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Gambar, komentar, dan pesan yang tidak diinginkan hanyalah permulaan. Dampaknya pun dimulai sejak usia muda.

Berbagai studi menyoroti kerugian psikologis yang dialami baik oleh anak-anak maupun orang dewasa, mencatat bahwa pelecehan yang tidak terduga, anonim, dan terjadi dengan cepat dapat membuat para korban merasa takut, tidak berdaya, sangat malu, dan memiliki harga diri yang rendah. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa perempuan yang lebih muda dan mereka yang memiliki banyak pengikut di media sosial lebih sering menjadi target pelecehan seksual siber. Hal ini mungkin disebabkan oleh visibilitas daring yang lebih besar atau waktu yang lebih banyak dihabiskan di platform-platform tersebut.

Studi tersebut pun menemukan bahwa perempuan yang baru menjalin hubungan romantis atau tidak memiliki hubungan melaporkan tingkat pelecehan yang lebih tinggi. Terdapat juga kaitan yang jelas antara pelecehan daring dan luring.

Korban pelecehan seksual siber lebih mungkin melaporkan mengalami pelecehan secara langsung. Menurut European Institute for Gender Equality, pelecehan daring sering kali mencerminkan dan meluas menjadi kekerasan berbasis gender di dunia nyata.

Banyak badan amal dan organisasi kini menyediakan dukungan bagi para korban pelecehan daring, namun upaya yang lebih besar dinilai masih diperlukan. Profesional kesehatan mental didorong untuk mempertimbangkan pengalaman daring pasien mereka sebagai bagian dari asesmen.

Sementara itu, penelitian seperti yang telah disebutkan sebelumnya terus mengeksplorasi bagaimana berbagai jenis pelecehan seksual siber – seperti frekuensi atau konten pesan eksplisit – memengaruhi orang secara berbeda. Satu hal yang jelas yaitu pelecehan seksual siber bersifat mengganggu, traumatis, dan berakar pada kurangnya rasa hormat terhadap persetujuan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement