Jumat 23 May 2025 11:34 WIB

Darah dan Urine Bisa Deteksi Seberapa Banyak Kamu Makan Junk Food

Konsumsi makanan ultraolahan dikaitkan dengan potensi penyakit jantung dan diabetes.

Rep: Mgrol156/ Red: Qommarria Rostanti
Junk food (ilustrasi). Darah dan urine disebut menyimpan banyak rahasia tentang pola makan seseorang, terutama terkait konsumsi junk food.
Foto: pixabay
Junk food (ilustrasi). Darah dan urine disebut menyimpan banyak rahasia tentang pola makan seseorang, terutama terkait konsumsi junk food.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Darah dan urine disebut menyimpan banyak "rahasia" tentang pola makan seseorang. Utamanya, terkait konsumsi makanan "praktis" (junk food).

Sebuah studi terbaru dari National Cancer Institute menunjukkan bahwa para peneliti telah menemukan jejak kimia dalam cairan tubuh yang secara akurat mampu memprediksi seberapa besar konsumsi makanan ultraolahan (UPF) seseorang. Temuan ini membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang dampak makanan olahan terhadap kesehatan.

Baca Juga

Dilansir laman Study Finds pada Jumat (23/5/2025), sebuah penelitian yang dipublikasikan di PLOS Medicine menyatakan bahwa makanan ultraolahan menyumbang mayoritas kalori yang dikonsumsi oleh penduduk Amerika Serikat. Meskipun demikian, dampaknya terhadap kesehatan manusia masih belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menemukan penanda biologis dalam darah dan urine yang dapat secara tepat memprediksi tingkat konsumsi UPF.

Saat ini, lebih dari separuh asupan kalori harian penduduk di Amerika Serikat berasal dari makanan olahan. Produk-produk ini, yang sering disebut sebagai UPF, adalah makanan siap saji atau siap masak yang dibuat menggunakan bahan-bahan yang jarang ditemukan di dapur rumahan, seperti sirup jagung tinggi fruktosa, minyak terhidrogenasi, serta berbagai zat tambahan untuk memperkaya rasa dan tekstur. Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa konsumsi UPF yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko obesitas, penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan beberapa jenis kanker.

Untuk memahami lebih jauh, tim peneliti menganalisis sampel darah dan urine dari 718 peserta dewasa berusia 50 hingga 74 tahun yang terlibat dalam studi Interactive Diet and Activity Tracking in AARP (IDATA). Para peserta diminta mencatat asupan makanan mereka selama 24 jam di beberapa waktu selama 12 bulan, sekaligus memberikan sampel darah dan urine setiap enam bulan sekali.

Para ilmuwan melakukan pengukuran terhadap lebih dari 1.000 metabolit yang berbeda di setiap sampel. Hasilnya mencengangkan yaitu mereka menemukan bahwa hampir 200 metabolit dalam darah dan sekitar 300 metabolit dalam urine memiliki korelasi signifikan dengan tingkat konsumsi UPF. Metabolit-metabolit tersebut meliputi senyawa yang berperan dalam metabolisme lipid, asam amino, karbohidrat, vitamin, serta xenobiotik, yaitu zat asing seperti bahan tambahan makanan.

Peneliti kemudian menerapkan metode statistik untuk menciptakan sebuah "skor poli-metabolit". Ini adalah gabungan metabolit tertentu yang secara bersama mampu memprediksi konsumsi UPF dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Skor ini kemudian divalidasi menggunakan data dari uji klinis terpisah, di mana 20 peserta secara acak diberikan diet yang terdiri dari 80 persen makanan ultra-olahan atau makanan tanpa kandungan ultra-olahan selama dua pekan, sebelum beralih ke pola makan yang sebaliknya.

Tim peneliti mengamati bahwa skor tersebut mengalami perubahan signifikan saat individu berganti antara pola makan tinggi UPF dan pola makan tanpa UPF. Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mengubah jenis pola makannya, pola metabolit dalam tubuhnya juga berubah secara konsisten sesuai dengan jumlah makanan ultra-olahan yang dikonsumsi. Artinya, tubuh kita benar-benar "merekam" apa yang kita makan.

Beberapa penanda konsumsi UPF yang paling menonjol adalah senyawa bernama N6 karboksimetillisin, yang telah dikaitkan dengan risiko diabetes dan penyakit jantung. Ironisnya, para peneliti juga menemukan bahwa kadar beberapa senyawa bermanfaat yang biasanya terdapat dalam sayuran seperti brokoli dan kubis Brussel justru menurun pada individu yang mengonsumsi UPF dalam jumlah lebih banyak.

Ada pula temuan menarik lainnya. Salah satu metabolit yang menunjukkan hubungan positif dengan konsumsi UPF adalah levoglucosan, yaitu senyawa yang dihasilkan saat selulosa terbakar. Para peneliti menduga bahwa senyawa ini mungkin berasal dari bahan kemasan makanan, yang mengindikasikan bahwa konsumen makanan ultra-olahan juga bisa terpapar zat-zat dari kemasan selain dari makanan itu sendiri. Ini membuka dimensi baru tentang potensi risiko kesehatan dari makanan olahan.

Para peneliti menyatakan bahwa tanda-tanda metabolit ini tidak hanya mencerminkan tingginya konsumsi makanan ultra-olahan, tetapi juga secara tidak langsung menunjukkan rendahnya asupan makanan utuh. Peserta yang mengonsumsi lebih banyak UPF cenderung memiliki tingkat konsumsi serat, vitamin, dan mineral yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi UPF dalam jumlah lebih sedikit.

Penemuan biomarker ini berpotensi mengubah cara kita mempelajari pola makan dan kesehatan. Metode ini menyediakan cara yang lebih akurat bagi peneliti untuk mengukur jumlah makanan ultraolahan yang dikonsumsi  seseorang tanpa harus mengandalkan laporan mandiri, yang sering kali rentan terhadap kesalahan atau bias. Temuan ini dinilai menjadi sangat penting di tengah perubahan cepat menuju sistem pangan industri yang didominasi oleh produk-produk praktis, tahan lama, dan sangat menggugah selera. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement