Penelitian ini menyatakan, dampak penindasan di dunia maya tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh pelaku. Nyatanya, hampir 5 persen responden merasa sangat menyesal atas peran mereka dalam tindakan tersebut. Hasil survei menyatakan, remaja yang menjadi korban penindasan di dunia maya memiliki peluang lima kali lebih besar untuk melakukan penindasan terhadap orang lain dibandingkan dengan remaja yang tidak pernah menjadi korban.
Walaupun 66 persen responden setuju bahwa penindasan di dunia maya dan kekerasan fisik memiliki tingkat keseriusan yang sama, 23 persen berpendapat bahwa penindasan di dunia maya lebih tidak berbahaya dibandingkan dengan kekerasan fisik. Sebanyak 11 persen peserta survei, menganggap penindasan di dunia maya lebih buruk dibandingkan kekerasan fisik.
Sementara lebih dari 47 persen responden menolak dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental, sejumlah besar korban merasakannya. Lebih dari 30 persen responden melaporkan perasaan kesal, hampir 4 persen mengalami masalah insomnia, dan hampir 8 persen mengalami gejala depresi.
Namun demikian, penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan dari keluarga dan sekolah memiliki dampak signifikan dalam mengurangi efek buruk dari penindasan di dunia maya pada remaja. Sayangnya, strategi semacam ini jarang diadopsi oleh para korban penindasan di dunia maya.
"Dampak perundungan di dunia maya terhadap emosi dan kesejahteraan remaja mencakup gejala somatik, depresi, dan stres,” ujar Balas dan rekan penulisnya. Penelitian menyarankan orang tua dan guru mendorong dialog mengenai penindasan di dunia maya, membantu remaja menemukan strategi efektif untuk menghadapi situasi semacam ini, serta mengembangkan empati, keterampilan komunikasi, dan sosial.