AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Meminjamkan uang kepada keluarga atau teman adalah sesuatu yang pernah dilakukan sebagian besar orang, meskipun tidak dimungkiri hal itu bisa terasa tidak nyaman. Namun, jika menolaknya, ada rasa sungkan karena tak bisa membantu.
Ketidaknyamanan lain terutama terjadi jika orang dipinjami uang tidak membayar utang meski sudah melewati batas waktu yang dijanjikan. Ada rasa segan menagih, tapi juga jengkel karena sepertinya orang yang berutang begitu saja melupakan yang dipinjam.
Dengan pengalaman demikian, seseorang mungkin selanjutnya kapok untuk meminjamkan uang kepada teman dan keluarga. Akan tetapi, ketika orang yang sama berusaha meminjam lagi atau mungkin ada orang lain yang meminjam dan ditolak, terjadi situasi canggung.
Terkadang, orang yang meminjam uang tetapi ditolak malah melontarkan sindiran atau ucapan nyinyir. Bisa juga memberi perlakuan buruk karena apa yang diinginkan tidak didapat, seperti menuliskan unggahan media sosial tentang orang yang menolak memberi pinjaman.
Dikutip dari laman BBC, Kamis (21/9/2023), para ahli, baik itu pakar kejiwaan maupun pakar finansial, sependapat bahwa suatu relasi pertemanan yang melibatkan perkara uang di dalamnya bisa menjadi canggung. Tidak menutup kemungkinan timbul ketidakseimbangan atau gangguan dalam hubungan yang tadinya saling percaya.
Hal ini berpotensi membuat kedua belah pihak merasakan emosi yang kompleks, seperti malu, malu, dan marah. "Saya pikir uang masih menjadi topik yang sangat intim untuk dibicarakan secara autentik oleh banyak orang,” kata Maggie Baker, psikolog dan terapis keuangan yang berbasis di Pennsylvania, Amerika Serikat.
Orang-orang mungkin sering bicara tentang uang, tapi tidak bertanya satu sama lain tentang situasi keuangan masing-masing secara spesifik. Ada selubung yang menutupi seluruh topik tentang uang, berapa banyak yang dimiliki, dan berapa banyak yang tidak dimiliki.
Profesor J Michael Collins yang menjabat sebagai direktur Pusat Keamanan Finansial di Universitas Wisconsin, AS, menjelaskan ketika perkara pinjaman uang dilakukan secara formal. Seseorang bisa pergi ke bank, mengajukan pinjaman, lalu bank akan memutuskan apakah orang itu dapat membayar kembali atau tidak.
Lantas, orang itu menandatangani kontrak, yang isinya sesuatu akan terjadi jika dia gagal membayar. Bisa jadi gaji dipotong, mobil diambil kembali, atau opsi lainnya. Sayangnya, hal sama tidak bisa diterapkan jika seseorang meminjamkan uang kepada teman atau kerabat dalam konteks informal.
"Ini adalah sifat longgar dari kasus tersebut (meminjamkan uang kepada orang terdekat), serta kurangnya kemampuan tindak lanjut atau akuntabilitas yang membuat orang sangat gugup," ujar Collins.
Meminjamkan uang kepada seseorang juga berarti mengubah sebuah hubungan, secara halus mengubah posisi kedua belah pihak dalam hubungan. Orang yang memberikan pinjaman bukan sekadar teman atau anggota keluarga, tiba-tiba ada rasa menjadi "petugas pinjaman".
Ada juga tingkat ketidakpastian yang tinggi bagi pemberi pinjaman. Sebab, tidak peduli seberapa dekat Anda dengan seseorang, Anda mungkin tidak tahu bagaimana dirinya mengelola keuangan. Faktanya, para ahli mengatakan sebagian besar pinjaman tidak dilunasi. Disebutkan bahwa sembilan dari 10 orang yang berutang kepada teman tidak membayar kembali pinjamannya.
"Biasanya, yang terjadi adalah orang yang berutang mulai menghindari Anda, kemudian Anda mulai merasa kesal. Anda merasa seperti sedang dimanfaatkan, merasa seperti seseorang tidak menghormati batasan Anda," tutur Brad Klontz, psikolog finansial dan profesor madya di Creighton University, AS.