AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Sejak pandemi Covid-19, orang semakin menyadari pentingnya menjaga kesehatan. Salah satunya dengan memilih rempah-rempah untuk menjaga imunitas secara alami.
Hal itu juga ditandai dengan harga jahe yang mencapai dua kali lipat dari sebelum pandemi. Namun, menurut Kumoratih Kushardjanto dari Yayasan Negeri Rempah, ketika generasi muda dikenalkan dengan ramuan jamu, misalnya, ada saja yang menganggap rasanya aneh.
Tentu saja itu karena mereka kurang familiar dengan minuman tersebut. Namun, ia melihat bahwa kopi saja yang relatif memiliki rasa pahit bisa jadi tren di kalangan anak muda.
“Kopi pahit tapi ngetren, sebenarnya kosa rasa pahit, asam, kecut, getir, itu merupakan bagian perbendaharaan rasa yang kaya, jadi rempah-rempah juga bisa (ngetren),” kata Ratih dalam acara 'Berapa Rempah yang Kau Tahu?' di Jakarta, belum lama ini.
Terlebih Indonesia juga menuju proses pengajuan ke UNESCO agar Jalur Rempah dinyatakan sebagai warisan budaya dunia (world heritage). Karena itulah, identitas budaya ini dinilai jangan sampai hilang.
Shinta Teviningrum dari Akademi Kuliner Indonesia (AKI), mengatakan sering kali generasi muda masih belum dapat membedakan setiap jenis rempah. Misalnya, ketika membedakan antara jahe dan lengkuas, kunyit dan temulawak, atau merica dan ketumbar.
”Rempah itu bukan hanya untuk bumbu, tapi juga minuman. Saat Covid, jahe sampai harganya naik dari yang 1 kilogram Rp 20 ribu langsung naik Rp 40 ribuan,” kata Shinta dalam kesempatan yang sama.
Masyarakat meyakini, jahe bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Jika dulu biasa disajikan dalam bentuk jamu, sekarang dalam perkembangannya, minuman rempah dapat disajikan lebih menarik. Ada minuman seperti kunyit asem, wedang dan lainnya.
“Jangan takut menikmati minuman herbal karena tidak hrus jamu. Misalnya enggak suka kunyit, hilangkan asamnya ganti dengan lemon. Kalau saya setiap hari bikin campuran sereh, temulawak, jahe sedikit tanpa gula karena sudah ada dari jahenya, kalau mau tambah madu bisa,” lanjut dia. Santi Sopia