“Karena setiap sekolah pasti tidak ingin ada kasus ini. Tapi, juga perlu ada evaluasi kenapa bisa terjadi. Apa mungkin karena CCTV tidak terpantau atau mungkin juga pengamanannya kurang,” ucap dia.
Menurut Diyah, berdasarkan kasus-kasus sebelumnya, anak yang hendak mengakhiri hidup biasanya sudah melakukan semacam penelitian atau observasi lingkungannya. Anak tersebut bisa melihat kapan waktu yang sekiranya minim pengawasan untuk melakukan aksinya mengakhiri hidup.
Diyah juga menekankan pentingnya tidak memberikan stigma negatif terhadap anak yang melakukan upaya mengakhiri hidup. Sebab, kata Diyah, bagaimanapun korban merupakan seorang anak yang tetap harus mendapatkan stigma positif di tengah masyarakat.
Diyah mengakui, fenomena anak mengakhiri hidup saat ini memang sudah menjadi persoalan sendiri. Ketika itu terjadi, stigma yang muncul di masyarakat umumnya berupa stigma negatif. Itu membuat sekolah maupun keluarga korban terkesan menutup-nutupi kejadian dan enggan untuk melaporkan ke pihak terkait.
“Memang selama ini minimnya pelaporan (terjadi), kemudian juga adanya stigma negatif, dan kebingungan. Sehingga ada kasus tersebut di sekolah atau di keluarga itu enggan untuk dilaporkan,” kata dia.
Sebab itu, Diyah mengatakan, persoalan itu harus menjadi perhatian semua pihak. Sehingga stigma-stigma negatif yang ada tidak terus berkembang. Dengan begitu pula keluarga anak korban maupun sekolah tidak perlu mendapatkan hukuman secara sosial. Sebaliknya, pihak-pihak itu seharusnya diperlakukan secara wajar, bahkan diberikan pendampingan.
Data KPAI hingga 6 November 2023 menunjukkan, sepanjang 2023 terdapat 17 kasus anak mengakhiri hidup atau bunuh diri. Jumlah tersebut diperkirakan masih belum menunjukkan jumlah yang sebenarnya karena kesadaran untuk melaporkan kasus bunuh diri anak belum terbentuk dengan baik.