Melemahnya Budi Pekerti
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Sunyoto Usman, mengemukakan beberapa faktor yang mungkin berkontribusi pada munculnya perilaku pelecehan seksual yang dilakukan anak-anak. Menurut Sunyoto, secara umum, ada pelemahan budi pekerti di masyarakat.
"Saya kira secara umum itu melemahnya budi pekerti ya," kata Sunyoto kepada Republika.co.id, Jumat (19/1/2024).
Sunyoto mencatat bahwa sekolah lebih fokus pada kinerja akademik, sedangkan pembentukan karakter dan budi pekerti sering kali hanya diserahkan kepada agama. Pembelajaran tentang nilai-nilai ini sering kali hanya sebagai pengetahuan, belum diarahkan untuk mengubah kesadaran dan sikap.
Faktor kedua yang disoroti Sunyoto adalah fenomena di perkotaan. Pendidikan keluarga di perkotaan cenderung melemah karena kesibukan orang tua.
Sering kali, pengasuhan anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, seolah-olah sekolah bisa mengubah segalanya. Padahal, di dalam sekolah pun peran yang terkait dengan budi pekerti juga cenderung melemah.
Dalam konteks masyarakat, Sunyoto menyoroti kurangnya kontrol sosial. Peran tokoh-tokoh adat dan tokoh informal dalam mengendalikan nilai-nilai kultural telah bergeser. Mereka tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat seperti dulu.
"Tokoh informal itu sudah bergeser saat ini. Tidak seperti dulu bisa memengaruhi lingkungan yang sangat kuat," ujar dia.
Sunyoto menyarankan perlunya konseling sebagai respons terhadap masalah ini. Menurut dia, lembaga-lembaga konseling dapat menjadi instrumen untuk diskusi mengenai cara mengatasi masalah anak, terutama anak-anak yang terlibat dalam tindakan kenakalan yang melibatkan hukum.
Selama ini, tiga alternatif solusi yang umumnya direkomendasikan, yaitu diserahkan kepada keluarga, diberi sanksi hukum, atau diserahkan kepada yayasan. Padahal, anak-anak tersebut perlu pendampingan yang lebih baik.
Sunyoto juga menggarisbawahi pentingnya memahami anggaran pendidikan di kementerian secara luas agar tidak hanya sebagai investasi dalam pembelajaran dan pengajaran di sekolah, melainkan juga sebagai dukungan untuk pendidikan di keluarga dan masyarakat secara lebih luas, termasuk dimensi sosial dan kultural.