Selasa 06 Feb 2024 14:59 WIB

Generasi Z, Jangan Memilih Pemimpin Hanya karena Cinta

Memilih pemimpin harus dengan pikiran yang rasional dan tidak mengedepankan emosional

Red: Friska Yolandha
Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melakukan setting packing logistik pemilihan umum (Pemilu) 2024 di GOR Cempaka Putih, Jakarta, Selasa (6/2/2024). Pilihlah pemimpin dengan rasional
Foto:

Pasangan calon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mengeluarkan dana sebesar Rp 444,34 juta, pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengeluarkan dana sebesar Rp 778,93 juta, dan pasangan calon Ganjar Pranowo dan Mahfud Md mengeluarkan dana sebesar Rp 829,16 juta.

Hal ini menunjukkan bahwa kampanye di ruang digital menjadi aspek penting dalam pesta demokrasi kali ini. Tim pemenangan adu strategi dan kreativitas agar dapat menjangkau algoritma pemilih. Celakanya, algoritma yang merupakan hasil umpan balik dari apa yang disukai atau dikomentari, akan mereferensikan segala hal yang berkaitan dengan aktivitas yang mereka lakukan sebelumnya. Baik itu like, comment, share atau bahkan search.

Tentu saja, aliran informasi yang sejenis tersebut kurang baik bagi demokrasi karena dikhawatirkan akan menciptakan polarisasi dan berkurangnya gagasan di ruang publik.

Kondisi ini kurang baik bagi generasi Z, yang mungkin saja belum terlalu berpengalaman dalam pesta demokrasi. Beda halnya, dengan generasi milenial yang sudah berkali-kali merasakan geliat pesta demokrasi. Apa yang dikhawatirkan adalah generasi Z tersebut menjadi pemilih yang cenderung emosional dan mengesampingkan rasionalitas. Idealnya, seorang pemilih menggunakan haknya dengan mengedepankan rasionalitas.

Pemilih rasional

Menjadi pemilih yang mengedepankan rasionalitas pada pemilu di era media sosial tentunya tidak mudah. Perlu usaha lebih untuk mencari tahu dan mengkaji apakah visi misi pasangan calon yang dipilih sudah sesuai dengan apa yang diinginkan pada masa depan.

Tentunya bukan menjadi pemilih emosional yang melupakan logika, hanya karena jatuh cinta dengan satu sosok atau pasangan calon karena gimmick politik di media sosial, maka hilang akal sehat.

Rektor Unika Atma Jaya yang juga seorang neurolog, Prof Yuda Turana, mengakui bahwa saat seseorang jatuh cinta atau bahkan sedih maka bagian otak yang bersifat emosional (amygdala) lebih dominan dibandingkan logika atau rasional (korteks prefrontal).

Begitu juga saat pemilu, saat seseorang jatuh cinta atau kagum maka kekurangan orang tersebut pun menjadi sebuah pemakluman. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan penting hendaknya tidak dilakukan pada saat jatuh cinta atau emosional, karena hanya bersifat jangka pendek dan sering kali keputusan yang dibuat salah.

Padahal, memilih pemimpin atau wakil kita di parlemen bukanlah perkara sesaat tapi jangka panjang. Kebijakan-kebijakan yang diambil maupun aturan-aturan yang dibuat akan berdampak pada kehidupan kita ke depan.

 

Maka tak salah kiranya, perlu berjarak sejenak dari media sosial, sedikit upaya untuk mempelajari rekam jejak dan visi-misi agar tak salah pilih. Jangan memilih hanya karena alasan kerupawanan, kesukuan, agama, ras, kekerabatan, atau karena artis idola. Jangan sampai karena pilihan yang emosional, malah menghasilkan pemimpin yang tidak tepat. 

sumber : antara
Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement