Ratna mengatakan ada saja perempuan yang menganggap ringan catcalling dan memandangnya sebagai hal yang wajar. Hanya saja, itu tidak bisa digeneralisasi karena belum tentu semua merasa tidak masalah diperlakukan demikian.
"Terbukti ada korbannya yang merasa dirugikan, apalagi catcalling yang dilakukan oleh grup dan membuat korban tertekan," kata Ratna.
Pembahasan tentang catcalling sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan kembali mengemuka setelah calon presiden nomor urut 01, Anies Baswedan, mengungkapnya di sesi terakhir debat calon presiden. Merespons isu tersebut, beberapa perempuan ada yang menyuarakan di media sosial bahwa catcalling adalah bentuk pujian, yang berarti dirinya menarik hingga digoda.
Sementara itu, perempuan lainnya mengungkapkan penderitaannya setelah menjadi korban catcalling. Perempuan yang berhijab pun turut berada di barisan korban.
Ratna menjelaskan, perempuan yang merasa tidak apa-apa jika di-catcalling biasanya adalah mereka yang hidup dalam lingkungan dengan ketimpangan gender, ada nilai-nilai ideologi yang menyesatkan. Perempuan pun dianggap objek seksual, sehingga nilai-nilai itu diinternalisasi.
"Misalnya, informasi menyesatkan yang menyebut perempuan harus di rumah. Ada budaya yang menempatkan perempuan sebagai benda yang bisa dibeli. Atau bahkan budaya kawin tangkap, kan menempatkan perempuan sebagai objek. Ada budaya belis (mahar) di NTT, kalau kawin tangkap di Sumba," ucap Ratna.