Senin 12 May 2025 16:52 WIB

Curhat Sama ChatGPT, Solusi Instan atau Bahaya Tersembunyi?

Kemudahan akses dan sifat non-judgemental AI dinilai menjadi daya tarik tersendiri.

Rep: Mgrol156/ Red: Qommarria Rostanti
Aplikasi ChatGPT. Ada orang-orang yang memilih curhat kepada ChatGPT  untuk mencari dukungan dan validasi.
Foto: VOA
Aplikasi ChatGPT. Ada orang-orang yang memilih curhat kepada ChatGPT untuk mencari dukungan dan validasi.

AMEERALIFE.COM, LONDON -- Layanan kesehatan National Health Service (NHS) di Inggris menunjukkan, waktu tunggu untuk perawatan kesehatan mental bisa delapan kali lebih lama dibandingkan perawatan fisik. Di tengah kondisi tersebut, muncul fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan yaitu pemanfaatan kecerdasan buatan (AI), khususnya platform seperti ChatGPT, sebagai "terapis" gratis.

Kisah Charly (29 tahun, London), Ellie (27 tahun, Wales Selatan), dan Julia (30 tahun, Munich) menjadi contoh bagaimana individu, dalam berbagai kondisi emosional, beralih ke AI untuk mencari dukungan dan validasi. Charly, yang sedang menghadapi kesedihan mendalam akibat kondisi kesehatan neneknya yang memburuk, menemukan kenyamanan dalam anonimitas ChatGPT.

Baca Juga

Ia merasa bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan kasar, mengerikan, dan hampir kejam tentang kematian yang mungkin sulit ia utarakan kepada terapisnya atau perawat rumah sakit. "Sangat membantu untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kasar, mengerikan, dan hampir kejam tentang kematian – hal-hal yang menurut saya aneh karena ingin dipahami. Dan kemudian, menanyakan apakah ada saran tentang cara menghadapinya," ujarnya, seperti dilansir laman Independent.

Bagi Charly, AI menjadi tempat untuk melampiaskan pikiran-pikiran yang ia rasa tidak pantas diungkapkan di tempat lain, meskipun ia menyadari ironi ketergantungannya pada teknologi yang berpotensi merusak lingkungan. "Saya merasa sangat bersalah, bergantung pada sumber daya yang saya tahu sedang menghancurkan planet kita. Ironi menggunakannya untuk mengatasi kerusakan sesuatu yang saya cintai tidak luput dari perhatian saya. Namun, secara egois, saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan tanpanya," kata dia.

Senada dengan Charly, Ellie menggunakan ChatGPT pada saat-saat terburuknya ketika ia merasa tidak memiliki siapapun untuk diajak bicara. Ia menemukan validasi atas perasaannya dan bahkan meminta AI untuk memberikan perspektif berbeda mengenai situasi pribadinya.

"Sangat membantu untuk memvalidasi perasaan saya. Saya juga meminta AI memberikan perspektif yang berbeda tentang situasi pribadi, yang sangat membantu. Tentu saja, itu terbatas. Itu tidak memiliki konteks penuh terhadap hidup saya seperti yang dilakukan terapis saya, tetapi itu mudah diakses dan tidak menghakimi di saat-saat krisis," kata dia.

Kemudahan akses dan sifat non-judgemental AI menjadi daya tarik tersendiri bagi Ellie di tengah keterbatasannya dalam mencari dukungan manusiawi. Sementara itu, Julia beralih ke ChatGPT karena terapisnya tidak dapat segera "menampungnya". Ia mencoba menggunakan AI sebagai pengganti sementara, memberikan gambaran singkat tentang hidupnya dan meminta AI untuk merespons layaknya seorang terapis.

"Saya terkejut dengan seberapa bagus jawaban yang diberikan. Rasanya seperti mengobrol dengan terapis di aplikasi seperti BetterHelp. Saya berharap obrolannya formal, tetapi saya merasa obrolannya cukup manis, membangkitkan semangat, simpatik, dan terperinci. Obrolan itu tidak mendesak saya untuk membuat keputusan, tetapi membantu saya mempertimbangkan pro dan kontra," ujarnya.

Pengalaman awal Julia menunjukkan potensi AI dalam memberikan respons yang terasa terapeutik, bahkan memberikannya ruang untuk merefleksikan berbagai aspek kehidupannya. Namun, baik Ellie maupun Julia menyadari betul keterbatasan ChatGPT.

Julia merasakan kurangnya sentuhan personal dan kemampuan AI untuk menantangnya berpikir secara berbeda, hal yang menurutnya esensial dalam terapi sesungguhnya. "Terlalu praktis untuk seleraku. Terapisku mengenalku; bagaimana penampilanku, kekuranganku, latar belakangku secara lengkap. Aku kehilangan sentuhan personal. Terapisku terus-menerus menantangku dengan pertanyaan yang membuatku berpikir berbeda, ChatGPT tidak melakukan itu," jelas Julia.

Ia menyimpulkan, meskipun AI mungkin berguna untuk masalah-masalah ringan, penanganan penyakit mental yang serius tetap membutuhkan bantuan profesional. "Jika seseorang berjuang melawan penyakit mental, hanya profesional yang dapat membantu," kata dia.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement