Namun, di sejumlah negara Asia dan Eropa Timur, praktik aborsi berbasis jenis kelamin masih berlangsung, meski dilarang. Ketimpangan rasio kelahiran antara anak laki-laki dan perempuan masih terjadi, seperti di India (rasio 107 anak laki-laki per 100 perempuan pada 2023), dan di Cina (111 banding 100), menurut The Economist. Negara lain seperti Vietnam, Korea Selatan, Armenia, Georgia, dan Azerbaijan juga menunjukkan kecenderungan serupa.
Di negara-negara ini, kepercayaan lama bahwa laki-laki adalah pewaris nama keluarga, penerima warisan, dan penanggung jawab ekonomi keluarga, masih berakar kuat. Bahkan, beberapa negara seperti Siprus dan AS memperbolehkan pemilihan jenis kelamin lewat teknologi preimplantation genetic diagnosis (PGD) dalam proses bayi tabung.
Namun, secara global, jumlah kelahiran anak laki-laki berlebih menurun drastis, dari puncaknya 1,7 juta pada 2000 menjadi sekitar 200 ribu per tahun, mendekati rasio biologis normal 105 laki-laki per 100 perempuan.
Fenomena ini mulai bergeser. Negara-negara seperti Albania, Korea Selatan, Cina, dan India menunjukkan penurunan kesenjangan rasio gender sejak 2019. Ini dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran publik tentang isu kesetaraan gender. Pemerintah Cina, misalnya, melarang aborsi berbasis gender, sementara India meluncurkan kampanye nasional "Beti Bachao, Beti Padhao" (Selamatkan Anak Perempuan, Didik Anak Perempuan) sejak 2015.
Di sisi lain, pandangan tentang peran gender juga berubah. Perempuan kini kerap dianggap lebih mudah diasuh dan diharapkan dapat merawat orang tua di masa tua. Statistik juga menunjukkan perempuan lebih unggul di banyak bidang menurut OECD (2023), di negara maju, 54 persen perempuan muda memiliki gelar pendidikan tinggi, dibandingkan 41 persen laki-laki.
Fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan adalah laki-laki pun memengaruhi pandangan masyarakat. Data United Nations Office on Drugs and Crime menunjukkan, 93–94 persen populasi narapidana di dunia adalah laki-laki.
Meski demikian, perubahan persepsi ini juga tak lepas dari pengaruh kampanye global seperti gerakan #MeToo yang mendorong kesetaraan gender. Secara keseluruhan, pergeseran ini dinilai sebagai perkembangan positif menuju masyarakat yang lebih adil gender.