Dalam hal volume dan pengawasan konten, pengguna dapat mengunggah konten kapan pun di platform UGC. Namun, Hilmi menegaskan bahwa konten yang melanggar akan dideteksi dan dihapus melalui moderasi proaktif dengan kombinasi teknologi dan tenaga manusia.
"Sementara itu, lembaga penyiaran tradisional memiliki jumlah konten yang lebih terbatas, terjadwal, dan melewati proses kurasi, sehingga memungkinkan moderasi secara kuratif," jelasnya.
Meski demikian, TikTok menyatakan tetap terbuka untuk berdialog mengenai pengaturan lebih lanjut, selama regulasi tersebut disusun secara tepat.
“Kami bersedia untuk diatur, namun sebaiknya regulasi itu tidak disatukan dengan penyiaran konvensional,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini, menegaskan bahwa keberadaan RUU Penyiaran merupakan kebutuhan mendesak di tengah proses legislasi yang telah berjalan cukup lama.
Untuk sementara, menurut Amelia, pengaturan penyiaran digital bisa digabungkan terlebih dahulu dengan penyiaran konvensional dalam satu RUU, karena menyasar substansi yang sama.
“Kenapa harus dilakukan bersama UU Penyiaran? Karena nanti bisa diatur secara lebih rinci dalam peraturan pemerintah, peraturan menteri, atau mekanisme lainnya,” kata Amelia.
“Kalau melihat definisinya, segala sesuatu yang dipublikasikan atau disiarkan, baik melalui internet maupun transmisi lainnya, tetap masuk dalam terminologi penyiaran. Yang membedakan hanyalah caranya," ujarnya.
Sebagai informasi, RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan diusulkan oleh Komisi I DPR RI.