AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Sebelum pandemi Covid-19, tenggorokan gatal dan hidung meler sering kali dinilai sebagai pilek biasa. Namun, sejak pandemi melanda, banyak orang yang sangat waspada dan memikirkan virus penyebab selesma, entah varian SARS-CoV-2 baru, flu yang bukan musiman, atau lainnya.
"Selama pandemi, kita biasanya menjalankan setiap tes yang tersedia karena kita ingin tahu apakah itu Covid atau apakah ada diagnosis lain, namun kebiasaan ini telah terbawa ke era pasca-Covid," kata Presiden College of Urgent Care Medicine, dokter perawatan darurat di Amerika Serikat, Chris Chao.
Chao menyebut saat ini setiap pasien yang datang dengan sakit tenggorokan menginginkan tes strep, flu, dan Covid. Namun, banyak kasus yang tidak memiliki indikasi perlunya menjalani tes.
Respiratory viral panel (RVP) dapat mendeteksi lebih dari belasan virus sekaligus, termasuk influenza dan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Namun, untuk orang sehat dengan gejala pilek ringan, dokter mengatakan tes semacam itu tidak sebanding dengan biayanya karena pengobatannya pun sama untuk kebanyakan virus.
Selain itu, hasil tes, baik positif atau negatif, bisa salah. Kerap kali, itu merupakan indikator infeksi aktif yang tidak dapat diandalkan.
"Setiap tes memiliki tempat dan waktu yang tepat. Tetapi jika tes digunakan secara tidak tepat, Anda akan mendapatkan data yang buruk, seperti negatif palsu dan positif palsu dan konsekuensi yang tidak diinginkan dapat sama parahnya dengan diagnosis yang luput didapatkan," ujarnya.
Dokter perawatan darurat di Palo Alto Center Urgent Care, Jason Bae, mengatakan Covid-19 juga membuat banyak orang lupa bahwa mereka membutuhkan waktu untuk pulih. Sebagian besar pasien dari 50 persen kasus harian yang berhubungan dengan pilek bertanya-tanya mengapa mereka masih sakit setelah beberapa hari.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), kebanyakan pilek membutuhkan waktu sepekan atau lebih untuk pulih. American Lung Association mengungkapkan rata-rata orang dewasa akan terkena dua hingga empat kali pilek per tahun, sementara anak kecil akan terkena enam hingga delapan kali.
Dilansir NBC, Senin (12/6/2023), Bae mengatakan kekebalan terhadap virus pernapasan telah berkurang setelah bertahun-tahun isolasi dan pemakaian masker. Itu terjadi khususnya di kalangan anak-anak.
"Alhasil, beberapa orang mungkin sakit untuk waktu yang lebih lama karena sistem kekebalan mereka masih belajar mengatasinya," ucap dia.
Mengetahui virus mana yang menyebabkan pilek sangat membantu. Terkadang, itu diperlukan untuk orang dengan gangguan kekebalan, termasuk orang dengan HIV, kanker, atau penyakit ginjal kronis. Sebab, virus dapat berubah menjadi sesuatu yang lebih serius, seperti infeksi bakteri sekunder.
Prof Ann Palmenberg, peneliti Institute for Molecular Virology di University of Wisconsin-Madison, menyebut kekhawatiran berlebih seputar pilek pada tahap pandemi saat ini sebagian besar berasal dari ketidaktahuan tentang bagaimana mikrobioma dan sistem kekebalan tubuh berinteraksi dengan lingkungan. Ia menyebut, orang seharusnya mengekspos dirinya terhadap kuman.
"Karena begitulah cara Anda mengembangkan kekebalan, yang banyak di antaranya merupakan pelindung silang dengan sejumlah besar virus," jelasnya.
Kabar baiknya, menurut Palmenberg, virus penyebab pilek tidak berperilaku berbeda dan tidak berubah pada tingkat molekuler sejak Covid-19 mendominasi. Namun, infeksi yang tak berbahaya buat kebanyakan orang, dapat menjadi bencana bagi orang dengan masalah kekebalan.