Kamis 24 Apr 2025 15:20 WIB

Fenomena Duck Syndrome Terjang Kelas Menengah: Tenang di Luar, ‘Habis-habisan’ di Dalam

Rata-rata tabungan masyarakat disebut hanya sekitar Rp4,6 juta (November 2024).

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Keuangan kelas menengah (ilustrasi).
Foto: MGROL100
Keuangan kelas menengah (ilustrasi).

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Apakah kamu tahu fenomena duck syndrome? Istilah duck syndrome merujuk pada individu yang tampak tenang dan tanpa usaha di permukaan namun sebenarnya berjuang keras di bawahnya.

Kondisi ini dinilai sebagai cerminan nyata dari tekanan sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi kelas menengah Indonesia. Di tengah tuntutan gaya hidup modern, persaingan karier yang ketat, dan biaya hidup yang terus meningkat, kelompok ini seringkali merasa terbebani untuk selalu tampil sukses dan mapan.

Baca Juga

Pakar ekonomi dari IPB University, Dr Anisa Dwi Utami, mengatakan fenomena duck syndrome atau sindrom bebek menjadi cerminan nyata dari tekanan sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi kelas menengah Indonesia. “Individu dari kelompok kelas menengah sering dituntut untuk tampil sukses, stabil, dan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka menghadapi tekanan besar secara emosional dan finansial,” kata Anisa dalam keterangan tertulis seperti dikutip Rabu (23/4/2025).

Ia mengatakan, harapan tinggi dan keluarga, persaingan akademik dan profesional serta ekspektasi sosial yang diperkuat oleh media sosial membuat banyak orang merasa harus tampil sempurna. Kondisi ini, menurutnya, diperparah oleh terbatasnya akses terhadap dukungan psikologis serta stigma tergadap masalah kesehatan mental, sehingga beban yang dirasakan kerap disembunyikan demi menjaga citra. 

Anisa juga menyoroti bahwa saat ini kelas menengah tekanan ekonomi yang nyata. Tingginya inflasi dan stagnasi pendapatan menyebabkan mereka harus beradaptasi dengan biaya hidup yang meningkat. “Harga pangan, terutama beras, naik signifikan dan memaksa banyak keluarga mengalokasikan sebagian besar pendapatan hanya untuk kebutuhan pokok,” kata dia. 

Ia melanjutkan, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 semakin menekan daya beli, apalagi jika kenaikan upah minimum hanya berkisar 3-4 persen, situasi diperburuk oleh meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan peralihan pekerja ke sektor informal. Data terbaru menunjukkan rata-rata tabungan masyarakat kini hanya sekitar Rp 4,6 juta (November 2024), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Kondisi ini, menurut Anisa, menunjukkan ketidakmampuan kelas menengah untuk mengimbangi biaya hidup yang melonjak. 

Ia menyarankan agar masyarakat kelas menengah untuk memperkuat literasi keuangan, menyusun anggaran bulanan secara disiplin, serta memprioritaskan kebutuhan pokok dan tabungan. Selain itu, diversifikasi pendapatan dan peningkatan keterampilan juga penting untuk menjaga stabilitas finansial.

“Dengan kombinasi antara pengelolaan keuangan yang bijak dan pengembangan diri, masyarakat kelas menengah dapat lebih tahan terhadap tekanan ekonomi dan tetap sehat secara finansial,” kata dia. 

 

 

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement