AMEERALIFE.COM, DEPOK -- "Nggak ngerokok, nggak laki", "Lu nggak ngerokok? Banci banget". Cemooh seperti itu sering dilontarkan kepada Margianta Surahman Juanda Dinata saat dia menolak ajakan merokok dari teman-temannya saat remaja.
Margianta yang kini menjabat sebagai executive director Emancipate Indonesia merupakan salah seorang perokok pasif sejak masih belia. Saat menceritakan pengalamannya dalam seminar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Margianta tak memungkiri bahwa sejak kecil dia sudah merasa terganggu dengan asap rokok dari para perokok aktif, namun tak leluasa meluapkan perasaannya.
"Menjadi perokok pasif memang tidak nyaman. Apalagi kalau di sekolah ada temen sebaya yang suka bilang 'nggak laki' atau 'banci', tekanannya memang luar biasa. Padahal, aku pikir nggak perlu begitu," kata Margianta, Kamis (16/3/2023).
Pengalamannya itu kemudian menimbulkan pertanyaan besar di benak Margianta: mengapa rokok bisa membelenggu seseorang dan membentuk perilaku sosial di masyarakat? Setelah mempelajari dan melakukan studi tentang rokok, Margianta akhirnya sampai pada kesadaran bahwa para perokok juga merupakan korban dari tipu daya industri rokok.
Menurut Margianta, industri rokok lewat berbagai kampanye dan iklan yang dilakukan secara masif dan konsisten, sukses menciptakan "budaya palsu" tentang rokok.
"Merokok itu bukan budaya Indonesia, tapi dibudayakan oleh industri. Jadi sebetulnya yang mengambil untung paling besar dari ini semua adalah industri rokok," kata Margianta, Kamis (16/3/2023).
Karena itulah, menurut Margianta, para perokok aktif yang sudah telanjur kecanduan harus dirangkul dan diberi pemahaman lebih luas tentang cara industri rokok memperdaya mereka. Selain itu, negara juga memiliki peranan penting dalam mengatasi hal ini.
"Industri itu harus dilawan dengan kebijakan dari negara," kata Margianta.