AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Praktisi Kesehatan Spesialis Kedokteran Jiwa dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) IGNG Ngoerah Denpasar dr Ida Aju Kusuma Wardani menyebutkan, seorang yang berkepribadian introvert atau tertutup cenderung lebih rentan terhadap depresi, dibandingkan dengan orang yang ekstrover. "Karena seorang introvert kurang dapat bersosialisasi untuk mencari second opinion dari orang lain terhadap dirinya," kata Ida Aju Kusuma Wardani pada gelar wicara terkait depresi, secara daring, di Jakarta, Senin (11/9/2023).
Ia mengatakan, seorang introvert biasanya berpikiran bahwa lingkungan yang harus menerima dirinya apa adanya, bukan dirinya yang harus beradaptasi dengan lingkungan dimana dia tinggal. Oleh sebab itu, kata dia, seorang introvert cenderung lebih memendam masalahnya secara pribadi dan tidak melepaskan beban dalam pikiran melalui interaksi sosial dengan orang lain.
"Seorang introvert umumnya menganggap bahwa orang harus menolong dirinya. Kalau dia gak ngomong gimana? Kalau dia minta ke orang lain, pasti akan ditolong meskipun harus mencari bantuan orang lain lagi," ujarnya.
Meski demikian, menurutnya, kepribadian introvert bukanlah merupakan sebuah kesalahan, melainkan keunikan masing-masing individu. Namun, hal tersebut perlu disadari setiap orang, terutama orang tua yang merawatnya sejak kecil.
Untuk mencegah depresi di kemudian hari pada anak yang berkepribadian introvert, kata dia, para orang tua harus lebih peka terhadap kepribadian anaknya, karena anak belum memahami hal tersebut.
"Ibu dan bapak kalau punya anak introvert ajak diskusi. Misalnya selama satu jam di depan televisi, tanya mau menonton apa. Harus aktif, sehingga terjadi kedekatan antara orang tua dan anak dan nyaman kalau nanti terjadi apa-apa untuk cerita dengan ibu dan bapak," katanya.
Kemudian, ia mengimbau kepada orang tua agar tidak memaksakan kehendak kepada anak, karena tidak semua anak bisa mengikuti kemauan orang tua dan tidak semua anak akan berbicara jika tidak suka. Selain itu dia juga mengimbau agar setiap orang mewaspadai dan merangkul kerabat atau famili yang diketahuinya sebagai introvert, mencoba berkomunikasi dengannya, serta membawanya untuk berkonsultasi kepada tenaga ahli jika terdapat masalah yang tidak bisa diungkapkan.
"Tidak harus ke spesialis kejiwaan/psikiater. Carilah solusi mana yang paling bisa didapatkan, bisa psikolog atau kalau adanya dokter umum juga boleh. Yang penting ada bantuan tenaga medis agar tidak terpuruk, karena sosialisasi dapat menciptakan harapan melalui tindakan," ujarnya.