AMEERALIFE.COM, JAKARTA – Film drama-thriller Pengepungan di Bukit Duri produksi Amazon MGM Studios dan Come and See Pictures akhirnya akan tayang di bioskop mulai 17 April 2025. Tia Hasibuan selaku produser mengatakan film ini hadir sebagai peringatan mendesak tentang potensi terulangnya kerusuhan di Indonesia.
Film Pengepungan di Bukit Duri mengangkat tema krisis sosial di Indonesia, khususnya kekerasan dan diskriminasi yang secara implisit menyinggung peristiwa tahun 1998. Di film ini, etnis Tionghoa juga digambarkan sebagai kelompok minoritas yang rentan dan menjadi objek diskriminasi dari kelompok pribumi.
“Film ini latarnya tahun 2027, itu kami sengaja setting sebagai peringatan. Peringatan yang sifatnya urgent, karena 2027 itu sebentar lagi. Dan sejarah bisa berulang, kalau kita tidak hati-hati, tidak memperhatikan, membicarakan, atau berusaha menyembuhkan trauma dari masa lalu yang terjadi di negara kita,” kata Tia dalam konferensi pers di Epicentrum XXI, beberapa waktu lalu.
Sutradara Pengepungan di Bukit Duri Joko Anwar mengatakan naskah film ini sebetulnya sudah rampung sejak 2008. Namun sengaja tidak langsung digarap menjadi film, dengan harapan situasi di Indonesia akan berubah menjadi lebih damai, bebas dari fanatisme agama, dan terbuka membicarakan trauma sosial.
Namun hingga tahun 2024, Joko dan Tia melihat situasi Indonesia tidak mengalami perubahan. Akhirnya tahun lalu, mereka sepakat untuk menggarap film Pengepungan di Bukit Duri.
“Setelah kita menunggu, bahkan sampai tahun ini, 17 tahun kemudian dari pembuatan naskah, ternyata Indonesia masih memiliki masalah yang sama. Pada akhirnya ya, kita memutuskan untuk menggarap film ini,” kata Joko.
Dia menjelaskan, film ini juga berangkat dari keresahannya terhadap budaya kekerasan, korupsi, dan ketidakadilan yang semakin mengakar di Indonesia. Semua budaya menyimpang itu, menurut Joko Anwar, sangat terkait pada satu akar masalah yaitu kegagalan sistem pendidikan. Itulah mengapa, sekolah menjadi lokasi sentral dari cerita film Pengepungan di Bukit Duri.
“Beberapa budaya seperti kekerasan, budaya korupsi, dan semuanya ternyata mungkin terkait dengan satu hal: gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga kita menjadikan sekolah sebagai setting sentral dari cerita ini,” kata dia.
Dalam dua bulan terakhir, kata Joko, film Pengepungan di Bukit Duri telah menjalani beberapa sesi screening terbatas dan diskusi dengan mengundang berbagai pihak yang terkait dengan isu yang diangkat, termasuk guru. Dari diskusi tersebut, semakin menguatkan keyakinan bahwa isu yang diangkat di film ini sangat relevan dan penting untuk dibicarakan.
“Selama ini kita tidak mau membicarakan karena kerap teralihkan dengan hal-hal yang mungkin terlihat shiny, menghibur, tapi membuat kita lupa untuk memecahkan masalah bangsa. Sehingga kami akhirnya merasa perlu membuat film tentang gagalnya sistem pendidikan di indonesia, sebagai film yang mudah-mudahan bisa menjadi pemantik diskusi,” kata dia.
Film Pengepungan di Bukit Duri mengikuti perjalanan Edwin (diperankan Morgan Oey), seorang guru pengganti di SMA Duri Jakarta yang diisi siswa-siswi buangan dan dikenal dengan tingkat kekerasan yang tinggi. Edwin digambarkan sebagai keturunan Tionghoa yang memiliki trauma mendalam karena sedari kecil menjadi korban diskriminasi dan kerusuhan rasial. Namun kehadiran Edwin di sekolah tersebut membawa misi pribadi yaitu untuk menemukan keponakannya yang hilang.
Di film ini, Morgan akan beradu peran dengan Omara Esteghlal dan Hana Pitrashata Malasan. Selain mereka, Pengepungan di Bukit Duri juga dibintangi Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Raihan Khan, Farandika, Millo Taslim, Sheila Kusnadi, Shindy Huang, Kiki Narendra, Lia Lukman, Emir Mahira, Bima Azriel, Natalius Chendana, dan Landung Simatupang.