Senin 03 Jun 2024 10:54 WIB

Setop Ranking-rankingan di Sekolah, Saatnya Siswa Berkembang tanpa Tekanan

Menurut Najeela Shihab, capain belajar anak lebih kompleks dari ranking di sekolah.

Red: Qommarria Rostanti
Ayah mengantarkan anak ke sekolah (ilustrasi). Ranking atau peringkat di kelas dinilai menjadi salah satu miskonsepsi pendidikan di Indonesia sejak lama.
Foto: Foto : MgRol_93
Ayah mengantarkan anak ke sekolah (ilustrasi). Ranking atau peringkat di kelas dinilai menjadi salah satu miskonsepsi pendidikan di Indonesia sejak lama.

AMEERALIFE.COM, JAKARTA -- Ranking atau peringkat di kelas dinilai menjadi salah satu miskonsepsi pendidikan di Indonesia sejak lama. Praktisi pendidikan Indonesia sekaligus pendiri Sekolah Cikal, Najelaa Shihab, mengatakan konsep ranking "menyederhanakan" capaian belajar anak dan kompetensinya, serta menimbulkan kebiasaan bagi masyarakat untuk selalu terdorong membandingkan anak satu dengan anak lainnya.

Najelaa mengungkapkan dalam proses pendidikan pada masa lampau ranking merupakan sebuah standar yang dapat menumbuhkan jiwa kompetitif pada diri anak yang dianggap hal yang normal. Namun, faktanya, hal tersebut adalah sebuah miskonsepsi pendidikan.

Baca Juga

“Banyak banget pengalaman kita sekolah dulu yang sebenarnya salah kaprah. Kita anggap hal tersebut sebagai sesuatu yang normal atau enggak apa-apa. Contohnya itu ranking. Banyak dari kita yang karena waktu sekolah dulu diranking percaya bahwa ranking ada gunanya yaitu untuk menumbuhkan jiwa kompetitif,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (3/6/2024).

 

Menurut Najelaa, pemberian ranking adalah sebuah bentuk simplifikasi atau penyederhanaan capaian belajar anak dan kompetensinya. Padahal faktanya, capain belajar dan pengembangan diri anak lebih kompleks dari pada ranking.

“Ranking memberikan pesan yang salah tentang kemampuan anak karena ranking itu mensimplifikasi capaian belajar anak, mensimplifikasi kompetensi seolah-olah memang ada yang super jago, ada yang dua kali lebih jago, ada yang enggak cerdas, dan sebagainya. Padahal kita tahu, capaian belajar anak itu jauh lebih kompleks dari pada itu,” ujarnya.

Najelaa menyebut, keberadaan ranking sebagai ukuran dari capaian belajar yang selama ini ada sejatinya membangun kebiasaan bagi masyarakat akan dorongan untuk saling membandingkan kemampuan anak. “Salah kaprah kedua adalah ranking itu justru menumbuhkan kebiasaan untuk saling membandingkan, menumbuhkan kebiasaan untuk sikut-menyikut,” ucapnya. 

Menurut dia, untuk menumbuhkan jiwa kompetitif anak pada masa kini bukan lagi mengacu pada ranking. Hal itu, kata Najeela, dapat dilakukan dengan memberikan ruang untuk ikut kompetisi dan membuat jiwa kompetitif anak bertumbuh untuk selalu menjadi lebih baik dan mengembangkan dirinya dan segala potensinya.

“Kalau di Cikal, kita enggak pakai ranking, tapi kita bikin laporan tentang hal-hal apa yang sudah dikuasai kompetensi-kompetensi apa yang dicapai dan sebagainya. Di Cikal kami percaya bahwa keinginan untuk berkompetisi itu bagian dari fitrah semua manusia. Jadi, kalau bicara kompetensi di Cikal kita selalu fokusnya adalah ingin murid-murid berkompetisi dengan dirinya sendiri," kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement